Setitik Bulan
Oleh: Rara Amerea A.
Hembusan angin malam tanpa permisi menyelinap masuk ke
dalam rumah bersamaan dengan suara
decitan pintu. “Ibu udah tidur dek?” tanyanya memecah lamunan seorang gadis. Sejenak
ia menatap sendu sang kakak lalu menundukan kepalanya “Sampun mas.” Helaan nafas yang berat terdengar. “Mas, kasihan ibu”
ucapnya menggantung. “Ibu kangen bapak.” lanjutnya pelan. Mendudukan dirinya di
sebuah kursi yang reyot sang kakak bertanya “Ibu masih nungguin bapak pulang?”.
Gadis yang lebih muda hanya menganggukan kepala pelan lalu bertanya “Abis dari
mana mas?” Sang kakak memejamkan matanya sejenak “Biasa nyari sinyal buat
ngumpulin tugas.” Gadis manis tersebut hanya menganggukan kepalanya paham.
Keheningan mulai menyeruak di ruangan itu. “Udah lama ya mas bapak pamit melaut.” ucap gadis tersebut menerawang jauh, yang diajak bicara hanya diam. “Susah ya mas jadi kecil suka gak terlihat. Eh engga mereka aja yang buta.” lanjutnya sendu. “Sampe sekarang juga gak ada kabar.” ucap sang kakak pelan. “Apa tak lapor di tukang bakso ya mas mereka kan intel.” Mendengar hal itu yang lebih tua hanya menatap bingung sang adik. “Guyon mas guyon. Ojo spaneng ngono ta.” Ucapnya tanpa menyiratkan nada bercanda sama sekali. “Mas sampeyan mau jadi wakil rakyat ta?” lagi ucapan aneh yang berasal dari gadis itu. “Gak usah lah mas. Jadi bulan ae.” “Bulan?” sang kakak mengernyitkan alisnya bingung. “Bapak dulu suka cerita sama bulan mas, ngendikanipun bulan lebih mendengarkan gak peduli seberapa kecil kamu” ucapnya menatap tepat di iris sang kakak. Sang kakak hanya diam pikirannya berkecamuk. “Emang susah ta mas buat berlaku adil?” Suasana kembali hening mereka berdua sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. “Aku lupa deh mas yang kecil selalu ketutupan sama yang besar.” lanjutnya pelan. “Kalau nanti mas jadi bulan semoga sinarnya terpancar ke suluruh semesta. Besok kita beli bunga buat bapak ya dek.” Ucap sang kakak bertukar tatapan lembut dengan adiknya menyalurkan rasa kepercayaan.
Komentar
Posting Komentar