Harian AQUA (Vol.11): PSIKOEDUKASI SEBAGAI MEDIA PENYALURAN PENGETAHUAN TENTANG KEKERASAN SEKSUAL DAN PERUNDUNGAN PADA MAHASISWA
Psikoedukasi sebagai Media Penyaluran Pengetahuan tentang Kekerasan Seksual dan Perundungan pada Mahasiswa
(Sumber:
Dok. LPM AQUA)
Malang, LPM AQUA-Senin
(07/04/2022) Universitas Brawijaya telah melaksanakan webinar dengan tema
Psikoedukasi Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perundungan yang dilaksanakan
pada Sabtu, 5 Maret 2022 melalui aplikasi Zoom Meeting. Webinar yang
dimulai pada pukul 08.00 WIB tersebut menghadirkan tiga pemateri yang masing-masing
memberikan materi yang berbeda-beda.
Materi yang pertama dibawakan
oleh Ibu Ratri Nurwanti, Ketua Laporan Lab. Psikologi UB, yang memberikan
materi tentang pengenalan kekerasan seksual dan perundungan serta beberapa
kasus yang dapat dijadikan pembelajaran untuk langkah-langkah pencegahan
terjadinya kekerasan seksual dan perundungan di lingkungan kampus. Ibu Ratri
menjelaskan bahwa kekerasan seksual merupakan segala bentuk tindakan bermuatan
seksual yang tidak diinginkan. Saat ini pun sudah banyak kasus-kasus kekerasan
seksual yang beredar di masyarakat.
Masih banyak kasus-kasus
kekerasan seksual dan perundungan yang belum diketahui dan jarang dilaporkan
(sumber dari data Amerika Serikat). Alasan terbesar yang mengakibatkan kasus
kekerasan seksual jarang terungkap yaitu pihak korban merasa kasus ini adalah
kasus pribadi. Selain itu adanya ketakutan dari korban untuk melaporkan
sekaligus adanya tindakan balasan yang dilakukan oleh pelaku, terlebih lagi
apabila pelaku tersebut memiliki kuasa yang lebih tinggi, sehingga kasus-kasus
kekerasan seksual sering tidak terungkap.
“Ada beberapa alasan kenapa
kasus-kasus seperti ini tidak dilaporkan atau tidak diketahui. Nah ini adalah
data di Amerika Serikat sekali lagi. Kalau di sini disebutkan bahwa alasan yang
paling besar dibandingkan dengan alasan yang tidak dijelaskan, itu adalah
meyakini bahwa kasus ini merupakan urusan personal, jadi tidak selayaknya
menjadi konsumsi publik,” jelas Ibu Ratri.
“Alasan berikutnya adalah
adanya ketakutan bahwa ada tindakan dari pelaku atau ada konsekuensi negatif
yang akan didapatkan ketika melakukan pelaporan atau melaporkan ini ke publik.
Misalnya mungkin kalau di mahasiswa ketakutan bahwa, kalau misalnya terutama
ketika ada relasi kuasa disitu ya, pelakunya punya posisi atau merupakan figur
orang atas. Misalnya takut nilainya jelek, takut diberi sanksi akademis, atau
takut dikeluarkan dan lain-lain sebagainya. Alasan berikutnya adalah percaya
atau yakin bahwa kasus ini tidak cukup penting untuk dilaporkan, tidak ingin
pelaku mendapatkan masalah, dan seterusnya,” sambung Ibu Ratri.
Di Indonesia sendiri ternyata
juga sama banyaknya. Terdapat banyak kasus kekerasan seksual dengan penyintas
yang paling banyak terjadi pada mahasiswa terutama perempuan, sedangkan untuk
pelaku terbanyak juga berasal dari mahasiswa, dosen, staff, dan civitas kampus
yang lain.
Tindakan-tindakan yang dapat
dilakukan ketika seseorang menghadapi atau menemui kasus kekerasan seksual yang
ada disekitarnya yaitu dengan mendampingi penyintas, terutama apabila penyintas
tersebut membutuhkan bantuan dan menegur kepada pelaku kekerasan seksual
mengenai perbuatannya yang tidak terpuji.
“Jangkau, reach out,
berikan dukungan, dengarkan dan akui perasaan penyintas, jadi ini yang bisa
kita lakukan. Sediakan diri kita untuk dapat menjadi tempat bercerita, tempat
berkeluh kesah. Kemudian kita di sini bisa menjangkau proses advokasi, misalnya
memberitahukan kepada penyintas jika ada unit yang dapat menanggulangi
kasus-kasus seperti ini,” jelas Ibu Ratri.
Seseorang yang mengalami
kekerasan seksual tak menutup kemungkinan dapat mengalami trauma setelah peristiwa
tersebut terjadi. Efek kekerasan seksual yang dapat dirasakan oleh penyintas
antara lain gangguan mental, self harm, infeksi menular seksual,
penyalahgunaan substansi, suicide attempt, kehamilan yang tidak
diinginkan dan seterusnya.
Sering kali kasus seperti ini
susah untuk diselesaikan. Beberapa faktor yang mengakibatkan hal tersebut
terjadi yaitu adanya by stander effect,
“Yang pertama adalah by
stander effect, yaitu sering kali ada orang-orang yang melihat kemudian
tidak membantu untuk mencegah hal itu terjadi atau menghentikan agar hal itu
terjadi. Biasanya karena ketidaktauan apa yang harus dilakukan atau apa yang
harus dikatakan. Kemudian tidak mau menyebabkan masalah yang lebih besar,
menganggap itu bukan urusannya, tidak mau temannya menjadi marah ketika temannya
adalah pelaku atau penyintas. Jadi ini yang disebut by stander effect,
jadi yakin bahwa ada orang lain yang akan ikut bantu, jadi bantuan saya tidak
diperlukan,” jelas Ibu Ratri.
Adanya isu moral, patriarki, bias
kognitif juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kasus kekerasan seksual
susah untuk diselesaikan. Bias kognitif di sini yaitu kecenderungan yang tanpa
disadari untuk membedakan diri sendiri dengan penyintas dan merasa bahwa diri
sendiri tidak mungkin mendapatkan kekerasan seksual.
“Ketika kekerasan seksual itu terjadi
kita lihat pemberitaan pasti lebih timpang kepada korban ketimbang pelaku. Jadi
yang ditunjuk itu adalah korban, ‘Seorang perempuan mengalami kekerasan seksual’
instead of misalnya ‘Seorang dosen melakukan tindakan kekerasan seksual
pada mahasiswanya’. Jadi sering kali fokus perempuan, tingkatan kekerasan
seksual ditekankan pada penyintasnya ketimbang pada pelaku,” jelas Ibu Ratri.
“Ada semacam pemikiran yang
kita sendiri tidak dapat hentikan, jadi muncul aja gitu secara spontan. Itu
sebenarnya tendensi bias kognitif yang ada pada diri individu. Kita itu punya
kecenderungan yang tidak kita sadari untuk membedakan diri kita dengan
penyintas. Jadi yang membedakan diri kita bahwa kita itu ga mungkin kena
tindakan seperti itu. Bahwa orang itu memang pantas untuk mendapatkan tindakan
yang terjadi pada dirinya, sebagai konsekuensi atas perilakunya. Pemahaman
bahwa kita memiliki bias kognitif, bahwa sering kali itu perempuan yang memang
dijadikan kekerasan seksual itu terjadi, itu membuat kita bisa step back
dan mengevaluasi pemikiran-pemikiran kita tersebut sehingga dapat memberikan
respon yang lebih baik,” sambung Ibu Ratri.
Kasus perundungan juga masih
banyak terjadi dan sering diabaikan di lingkungan perguruan tinggi, salah
satunya adalah hazing. Hazing merupakan suatu tindakan yang
memaksa individu atau non individu untuk melakukan tindakan yang berdampak pada
risiko kerugian berupa rasa malu, kekerasan emosional, dan kekerasan fisik agar
individu tersebut dapat bergabung atau berafiliasi dengan organisasi yang
melekat pada proses inisiasi.
Akar masalah yang dapat
menyebabkan adanya hazing yaitu adanya pembiaran atas nama tradisi dan
pembentukan mental, tidak ada supervisi dan tidak ada ruang aman untuk
melaporkan.
“Yang pertama adalah pembiaran
atas nama tradisi dan pembiaran atas nama pembentukan karakter atau mental.
Jadi ini memang biasanya seperti itu. Kemudian supaya untuk membentuk karakter
mental seseorang. Ya memang seperti itu biasanya. Kalau misalnya di fakultas x
itu memang ini itu sudah tradisi turun temurun seperti ini, jadi sudah biasa
kita, seperti itu. Dianggap sebagai pembentukan mental. Padahal pembentukan
karakter mental bukan dengan cara seperti itu. Kemudian tidak adanya supervisi
yang memadai. Kemudian juga tidak ada ruang yang aman untuk melaporkan karena
takut nanti dianggap sebagai tukang ngadu, malah akhirnya (nanti) tidak punya
teman,” jelas Ibu Ratri.
Efek dari hazing bagi
penyintas yaitu adanya masalah kesehatan mental, emosional dan fisik, adanya
kerusakan fisik atau mendapatkan perawatan medis karena isu kesehatan yang
berat, menggangu performa akademik.
Pemateri yang kedua yaitu Dr.
Lucky Endrawati, SH., MH., sebagai dosen hukum pidana dan metopen Universitas
Brawijaya, yang membahas tentang kasus kekerasan seksual dan perundungan
apabila dilihat dari segi hukum. Ibu Lucky menyarankan untuk dibuatkan buku
saku tentang Kekerasan Seksual dan Perundungan (KSP) untuk mahasiswa, sehingga
apabila mahasiswa tersebut mengalami peristiwa KSP, mereka dapat mengetahui
tindakan apa yang perlu dilakukan.
“Kalau bisa output dari
kegiatan semacam ini tidak berhenti sampai di sini. salah satunya membuat buku
saku. Namanya saja buku saku, yang bisa dimasukkan di saku. Artinya ketika
nanti teman-teman mendampingi, ketika teman-teman berhadapan, ketika
teman-teman nanti istilahnya terjun langsung dalam sebuah proses untuk
menangani, teman-teman langsung buka buku saku. Oh ini ya KSP, oh saya harus
bagaimana. Sehingga nantinya buku saku itu dimasing-masing ULTKSP secara teknis
sebagai alat untuk meluruskan atau istilahnya mengobjektifkan ketika terjadi
kasus,” jelas Ibu Lucky.
ULTKSP yang ada di setiap
fakultas bersifat jejaring. Disamping itu, korban atau penyintas harus
mendapatkan penanganan dan pendampingan yang cepat dan responsif. Proses
penanganan KSP akan segera ditindak dan dituntaskan lewat jalur hukum dengan
berpedoman pada KUHP tergantung pada kuatnya bukti yang diberikan oeh korban
atau penyintas kepada pihak yang berwenang.
“Sebenarnya penanganan atau
dasar hukumnya sama, penindakannya sama, tetap merujuk ke KUHP. Tinggal sekali
lagi, bisa masuk proses hukum apa ndak itu tergantung kuatnya atau lengkapnya
alat bukti. Semakin kuat, semakin lengkap, pelaku tidak akan bisa ngeles lagi. Tidak
akan bisa melarikan diri lagi,” jelas Ibu Lucky terkait penanganan hukum
mengenai kekerasan seksual dan perundungan.
Peran yang bisa dilakukan oleh
pendamping penyintas atau pendamping korban yang mengalami kekerasan seksual
atau perundungan yaitu dengan menjadi support system-nya. Tujuannya
yaitu untuk mendukung dan menguatkan penyintas, salah satunya dengan
menghindari semakin bertambahnya kerentanan korban dengan tidak mengunggah
kasus tersebut atau memviralkan kasus tersebut. Langkah kedua kita bisa
menanyakan apa kebutuhan yang dibutuhkan oleh penyintas pada saat itu serta
perlu memposisikan diri untuk memberikan dukungan psikologis kepada penyintas.
“Mengingat dampaknya yang jangka
pendek maupun jangka panjang ini, tentu korban kekerasan seksual ini
membutuhkan support system. Nah, apa yang bisa kalian lakukan selaku
teman mungkin atau kerabat dari korban, yaitu jadilah support system
bagi mereka. Tujuannya apa? Tujuannya untuk menguatkan mereka karena
dampak-dampak tersebut. Bagaimana caranya? Pertama, misalnya menghindari
semakin bertambahnya kerentanan korban, misalnya dengan cara ketika kita
mengetahui teman kita mengalami kekerasan seksual bukan malah akhirnya kita
memviralkan atau malah memposting atau membagikan kasus tanpa kita
mempertimbangkan dampak-dampak, resiko-resiko yang bisa dialami kembali oleh
korban,” jelas Ibu Yunita Kurniawati, salah satu dosen jurusan psikologi UB sebagai
pemateri terakhir mengenai pendampingan korban kekerasan seksual dan
perundungan.
“Terus juga kita perlu
menanyakan kebutuhan mereka apa, kebutuhan korban ini apa dan kita perlu
memposisikan diri kita termasuk memberikan dukungan psikologis. Misalnya
berusaha ada, mendampingi, sehingga mereka jadi merasa bahwa ada yang mendukung
mereka dan peduli dengan mereka,” sambung Ibu Yunita. (dnp)
Komentar
Posting Komentar