Langsung ke konten utama

CERPEN: BAHKAN JIKA AKU MENJADI ABU

Bahkan Jika Aku Menjadi Abu

(Karya: Anisa Husna Alkautsar)

(Sumber: Daffa Rayhan Zain-pexels.com)

Bumi tak lagi bisa dikenali. Pemandangan di depanku bukan hal luar biasa di mana aurora menari-nari di langit malam yang membentang sejauh mata memandang, dilengkapi pula pernak-pernik dari cahaya bintang bak tinta putih yang memercik di atas cat hitam. Tubuhku cuma seukuran semut bila dibandingkan gerbang dari sayap kiri Federasi Garuda yang terlihat macam gajah saja. Ketimbang pemandangan malam di langit, aku malah bisa dibuat buta bila melihat hamparan salju tanpa batas.

Ibuku yang telah menuju tempat penantian karena terjangkit hipotermia pernah bercerita sedikit tentang seratus tahun yang lalu. Di mana Bumi belum kehilangan identitas sebagai planet asri dan layak huni. Dikatakan tanah yang kita pijak ini disebut pulau Jawa, yah ... itu dulu. Dan di bawah hamparan salju masih ada jejak peradaban umat manusia, ada jalan raya, ruko, lalu monumen Monas yang tertulis dalam buku sejarah, juga banyak candi dan prasasti yang merupakan bukti fisik masa prasejarah dan pohon-pohon yang masih murni tanpa sentuhan bioteknologi ... semua ini terkubur bersama dan diinjak-injak oleh manusia masa kini.

Setelah Federasi Garuda terbentuk dengan tembok raksasa yang dibangun dengan adidaya melingkari sebagian besar kota di pulau Jawa, memberikan kehangatan yang telah lama dirindukan makhluk hidup. Manusia yang masih hidup dipaksa bertahan hidup dengan menciptakan peradaban baru sebagai gebrakan terakhir. Bisa dibilang, tiada sudah kemurnian di Bumi baru ini, orang-orang jenius terkurung di dalam sangkar emas untuk menciptakan berbagai macam teknologi sebagai penyelesaian dari masalah ini—termasuk oksigen buatan, agar mampu mempertahankan kehidupan di Bumi asing yang telah lama mati.

Semalam dengan iseng aku menyelonong masuk ke laboratorium sekolah untuk sekedar melihat penghidupan kembali serangga yang telah lama punah. Oh benar, apa namanya? Aku lupa, jika tidak salah serangga itu bisa mengeluarkan cahaya dari tubuh bagian belakangnya. Tapi bukan serangga yang kutemukan, malah buku-buku usang yang terkumpul entah dari mana. Tersimpan rapi di balik kaca bak benda berharga, padahal banyak dari buku-buku itu yang sudah terkoyak. Salah satu buku itu terlewat jaman, berjudul 'Sejarah Kemerdekaan Indonesia' dan membuat orang bosan dulu sebelum membaca. Banyak coretan dan tulisan berwarna, khususnya bagian di mana peristiwa pengeboman Kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang sampai penculikan Soekarno-Hatta, pasangan Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia saat peristiwa Rengasdengklok. Barangkali sebelum buku ini ditinggalkan, pemiliknya tengah menghadapi ujian.

Indonesia ... harusnya nama pemilik tanah ini sebelum kiamat itu memorak-porandakan dunia. Wilayah yang semestinya bermusim tropis seperti Indonesia berubah menjadi musim dingin sepanjang tahun. Disadarkan oleh fakta ini, baru kurasakan rasa dingin yang menyengat kulitku, menusuk masuk ke tulang-tulangku. Ini adalah bulan Desember, wajar saja jika temperatur suhu seperti merayu orang buat mati. Aku mengencangkan jaketku dan memeluk buku itu erat-erat. Bullshit! Padahal aku masih ingin membayangkan bentuk dan rupa Indonesia pada masa jayanya. Aku ingin tahu, bila semua salju sialan ini mencair pada akhirnya—yang entah kapan, apakah aku bisa melihat negara yang disebut Indonesia ini?

"Magenta, lagi-lagi kau menyelonong keluar dan membuat kekacauan," panggil seseorang membuat tubuhku seketika menegang kaku.

Aku berbalik dan menatap anak laki-laki seusiaku dengan kikuk. Dia memiliki rambut ikal keriting seperti rumput laut sepanjang pinggang yang berbau apek. Dengan cepat aku

menjepit hidungku, menghalau bau kecut nan busuk biar tak menyeruak masuk. Menjawab seraya memasang cengiran. "Cuma berkhayal, bisa jadi nanti es dan salju sialan itu mencair."

Ngomong-ngomong dia Kelima, sahabatku dan kami telah diikat bersama dari TK sampai SMP, menjelang masuk SMA dia menolak mentah-mentah dan bilang bahwa dia tak lagi butuh sekolah. Sekolah tak lagi mampu mengajari anak genius semacam Kelima. Dia anak dari kaum berada tapi memilih tinggal di pinggiran dekat dengan tembok Federasi Garuda, hidup bersama dengan orang-orang tak mampu lainnya. Entah apa yang ada di otak Kelima, aku tak mengerti dia dan sebaliknya, dia juga tak mengerti aku. Tapi dia ngotot mau merasakan apa yang dialami dan dipikirkan orang normal kebanyakan.

Kelima sangat mencintai makhluk ciptaan-Nya, pikirku namun segera menggelengkan kepala. Anak itu bahkan tidak menyadari apa yang dia rasakan. Yah ... menurutku ini adalah pikiran menyimpang nan eksentrik dan tak dapat dipahami dari orang genius, sedangkan otak kecilku ini tidak akan bisa mengerti.

Wajah pucat Kelima masih datar dan mengeluarkan kalimat bernada datar pula. "Berbahaya keluar dari tembok, kau bisa mati membeku."

Memutar mata malas, memegang lengan Kelima dan menarik orang itu masuk ke dalam gerbang. "Itulah yang dikatakan para orang tua setiap aku bertanya tentang dunia di luar tembok. Kau tahu? Sekarang kau tampak seperti orang tua yang memberi wejangan padaku."

Aku menekan tombol di dekat gerbang, menunggu gerbang raksasa itu menutup dengan kecepatan siput. Pasti besok bakal ada gosip di antara orang-orang, tentang udara dingin yang berembus masuk ke dalam tembok Federasi Garuda. Para rakyat akan mengecam petinggi Federasi Garuda mengenai kelalaian dalam penjagaan di sekitar gerbang. Namanya manusia, gerutuku dalam hati dengan cemberut.

Aku mendengus, mengabaikan Kelima yang menengok kanan kiri di mana banyak pria berotot menggunakan baju loreng kehijauan terbaring tak sadarkan diri. Kemudian, Kelima menatapku tanpa berkedip. "Kawan, kau bahkan membuat tentara penjaga gerbang pingsan. Aku tak mengerti mengapa kau begitu ngotot untuk melihat sejarah yang bahkan sudah dilupakan. Tempat ini bukan lagi Indonesia, tapi Federasi Garuda."

Aku mengangkat bahu tak peduli, meletakkan kedua tanganku di belakang tengkuk, berjalan santai seraya sesekali menendang batu. Lalu berjingkrak-jingkrak ketika tak sengaja menendang batu besar. Aku meringis, mungkin ini karma karena tak menjawab Kelima. "Bila diberi kesempatan buat mengintip masa lalu sedikit saja, aku bakal buat buku besar tentang betapa hebat para pahlawan memerdekakan Indonesia. Biar mata mereka melek, dan petinggi Federasi Garuda bisa mempertimbangkan buat menghidupkan kembali Indonesia."

"Sia-sia saja perjuangan para pahlawan itu karena keturunan yang mereka harapkan bahkan lupa nama mereka." Mengerucutkan bibir kecewa lalu melirik pada Kelima, menahan perasaan muntah saat bau busuk menyeruak masuk ke dalam hidung. "Ngomong-ngomong sudah berapa lama kau tak mandi?"

Kelima mengendus tubuhnya, lalu memandangku dan berkedip tanpa ekspresi. "Sekitar empat puluh hari?"

Mataku melebar. "Omong kosong! Bagaimana bisa kau hidup tanpa mandi selama itu, kawan?! Tempat ini bukan gua! Apa yang kau lakukan selama ini?! Apa kau tengah menyiapkan teknologi mutakhir untuk mengembalikan Indonesia seperti semula?!"

"Semacam," jawab Kelima balik menatapku serius.

Tertawa geli ketika menatap wajah datar Kelima, aku tersenyum semringah. "Jangan konyol. Aku tahu kau genius, tapi ...." Aku tak bisa lagi melanjutkan kalimatku karena melihat Kelima yang bahkan tidak mengedipkan kelopak mata, hanya menatapku serius dan meyakinkan. Lidahku terasa kelu tiba-tiba. Mata dan ekspresi Kelima terlalu serius untuk sekedar lelucon. Aku tahu bahwa dia tidak pernah berbohong atau melucu, tapi ... apakah itu mungkin? Aku memasukkan buku itu ke dalam jaketku, lalu mencengkeram kedua sisi tubuh Kelima, menatap mata sahabat karibku ini tak percaya. "Jangan bilang kau benar-benar membuat teknologi semacam itu?"

Kelima menjawab lama. "Kau lupa, hari ini ulang tahunmu, Magenta."

"Jadi, apa hubungannya?" tanyaku tak sabar, buru-buru aku menarik tangan Kelima dan membawanya pulang ke rumah.

Suara dan ekspresi Kelima masih sama datarnya, kata-kata yang bisa menyentuh hati malah terdengar mirip suara robot, membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum geli. Namun senyumku dibuat membeku karena kalimatnya. "Aku tak paham akan kebanggaan dan cintamu pada tanah ini, maupun hormatmu pada The Founding Fathers. Tapi bila mimpimu mau mengintip masa lalu, sebagai sahabatmu yang terus kau bantu, aku harus membalas budi. Aku tidak tahu perasaan apa ini, tapi buku itu mengatakan jika ini gairah dari darah panas seorang pemuda." Kelima menyentuh dada kirinya, agak linglung.

Setelah Kelima menjawab panjang lebar, aku memukul punggung anak laki-laki itu, tak bisa mengekspresikan emosi yang kurasakan saat ini. Yang dapat kulakukan hanya tertawa terbahak-bahak dan memeluk sahabatku yang genius tapi lugu ini. Ya, Kelima lugu tapi tidak naif. "Balas budi apa? Hatimu itu terbuat dari apa Kelima? Aku tidak bisa mengerti dirimu sama sekali. Mungkin karena aku terlalu dungu untuk otak geniusmu itu."

“Tapi terima kasih, karena kau mau mengerti diriku,” imbuhku lembut. Sekarang aku merasa menjadi teman yang buruk karena tak pernah bisa dan tak mau berusaha mengerti dirimu yang serumit mata pelajaran Kimia dan Fisika.

"Kau bisa melakukan banyak hal cuma karena satu kebaikan kecil, dengan caramu membalas budi, bagaimana aku mesti membalasmu nanti? Aku bahkan tak yakin mampu membalas ini semua di alam baka." Aku melepaskan pelukan beruangku, tersenyum lebar dengan mata berbinar, menatap Kelima dengan penuh semangat.

“Bisakah aku mencoba ciptaanmu itu?” tanyaku penuh harap.

Kelima mengerutkan kening tak setuju. "Tapi kawan, teknologi ciptaanku belum sempurna. Hanya kurang satu sentuhan tapi aku tak tahu di mana."

"Tak apa. Aku rela jadi kelinci percobaan pertama. Ini bukan hadiah yang buruk. Malah ... luar biasa."

"Ini sangat berbahaya, kau bisa mati," tegas Kelima dengan menyipitkan mata.

Aku tertawa, mencubit pipi Kelima yang masih memiliki lemak bayi. "Sudah kubilang, tak apa. Lagi pula Bumi ini sebentar lagi juga akan mati. Ketika seluruh es di Bumi mencair, apa yang akan terjadi? Daratan akan tenggelam dan tidak ada tempat bagi manusia untuk terus melarikan diri. Terus hidup semacam ini, tidak jauh berbeda dengan menunggu kematian. Kelima, percayalah padaku. Tuhan adalah penulis takdir yang terbaik di alam semesta. Jika belum waktunya untuk aku mati, aku akan terus hidup sampai Ia menghendaki aku untuk mati."

Kami sampai di rumah Kelima, lokasi yang dipilih sahabatku ini begitu terpelosok, jauh dari pemukiman, sekeliling rumah adalah tumpukan barang bekas yang dia sulap menjadi teknologi ramah lingkungan, dipergunakan untuk membantu ekonomi orang-orang yang tinggal di pinggiran tembok Federasi Garuda. Menarik orang-orang itu dari jurang kemiskinan. Meski semua ciptaan luar biasa ini berasal dari rongsokan sampah, bukan berarti tidak berkualitas. Identitas Kelima yang sebenarnya adalah orang kaya, dia bukan miskin, cuman tak mau terseret perebutan warisan antar saudara. Jadi malam itu setelah kelulusan, Kelima meminta bantuanku untuk kabur dari rumah. Katanya, di mana saja bisa, asal jauh dari orang-orang serakah dan munafik itu. Dua hari kemudian, seseorang mengetuk pintu rumah baru Kelima. Memberi Kelima tumpukan uang dan membangunkan rumah yang lebih layak bagi Kelima. Kecuali sang kakek, tidak ada orang yang sudi untuk memperlakukan Kelima seperti porselen.

Kelima menghela napas, dia memijat pelipisnya lelah. "Baiklah."

Dari luar, rumah Kelima cuma sekedar gubuk reyot yang sebentar lagi menunggu untuk ambruk. Sedangkan di dalam ada satu ranjang yang kayunya telah dimakan rayap, ada pula sepasang meja dan kursi. Aku melihat Kelima membalikkan ranjang sederhana itu, di bawah kolong ranjang terdapat logam persegi panjang. Kelima membuka penutup logam itu. Aku tidak terlalu terkejut ketika menemukan tangga menuju bungker bawah tanah seperti pada film science fiction. Ya, inilah tempat persembunyian Kelima yang dibangun khusus oleh sang kakek.

Dia menatapku sebentar. "Ikuti aku," titahnya.

Aku mengikuti Kelima menuruni tangga, berjalan di ruang belajar dan tubuhku membeku saat melihat kertas berukuran A2 yang terbuka di meja, di atas meja itu masih ada pensil teknik, penghapus serta penggaris, terdapat gambar kapal induk dengan detail penciptaan yang sangat teliti. Bentuk kapal ini seperti pesawat karena memiliki sayap kanan dan sayap kiri, pula juga terdapat ekor, namun ketimbang menyebutnya pesawat aku lebih suka menyebutnya kapal induk. Aku menelan ludah, menunjuk gambar itu dengan jari bergetar takjub. "Ini apa?" tanyaku ketika pikiran gila berseliweran bersama imajinasi tidak masuk akal.

“Bahtera Nusantara, kapal induk yang bisa membawa para pribumi ke planet layak huni yang baru-baru ini ditemukan NASA,” jawab Kelima memandangku, lalu mengerutkan kening tanpa bisa kumengerti. “Bersabarlah, bila ini selesai semua akan kembali seperti semula.”

Aku memekik takjub. “Wow! Kau bahkan tahu informasi rahasia semacam itu?!”

“Hmn.” Kelima bersenandung sebagai jawaban.

“Ini sangat keren, kawan! Kapan Bahtera Nusantara akan dibuat?”

“Tak lama. Setelah aku menyempurnakan teknologi ini,” jawab Kelima berjalan ke kapsul seukuran mobil dengan bagian depan transparan, yang baru kusadari eksistensinya yang tak kalah menakjubkan dari Bahtera Nusantara.

Aku membuka mulutku lebar-lebar, berlari ke sisi Kelima dan memutari kapsul itu penuh ketakjuban. "Sialan! Sejak kapan kau menjadi begitu genius? Dan kapan berita besar ini diberitahukan pada publik?"

Kelima tidak menjawab pertanyaanku, melainkan bertanya padaku ... sekali lagi, berusaha agar aku mempertimbangkan keputusanku. "Magenta. Ini masih belum sempurna, apa kau yakin?"

"Percayalah padaku, aku pasti keluar hidup-hidup dan menceritakan kisah tentang Indonesia yang terlupakan padamu, sobat!" Aku merangkul bahu Kelima dan kami bertukar kata dalam beberapa menit sampai Kelima menyuruhku untuk berbaring di dalam kapsul.

Aku berkedip bahagia dan tertawa girang, menyembunyikan detak jantungku yang berpacu kuda. Tapi semua itu sia-sia dikala Kelima menempelkan dua benda pipih yang terhubung dengan monitor pada kedua sisi pelipisku, lalu dia membantuku memakai helm sebelum mengaktifkan teknologi yang bisa menggemparkan dunia ini. Di ruangan ini terdapat belasan monitor dan ketika penutup kapsul tertutup rapat salah satu monitor menampilkan kecepatan denyut jantungku. Jika begini, dia bakal tahu kalo aku gugup, ‘kan? pikirku seraya membuang muka dengan malu.

Kelima menutup kapsul seraya berbisik dengan lembut. "Jika bertemu orang hebat, apa kau akan melupakanku, Magenta?"

Aku terkekeh. "Bagaimana bisa? Kau pahlawanku."

Kelima tersenyum. "Benarkah? Bukankah sejarah adalah cinta dan separuh hidupmu?"

Aku tertegun dan ingin membalas, tetapi rasa kantuk segera menarik jiwaku dan perlahan aku menutup kelopak mataku. Sosok Kelima makin kabur dan kemudian kegelapan memelukku, tidak memberiku kesempatan untuk bernapas. Aku menekan dadaku dan berusaha menarik napas berulang kali. Padahal ini pertama kalinya aku melihat Kelima tersenyum, sayang sekali.

Saking tak kuasa menahan perasaan semacam itu, aku membuka kelopak mataku paksa seraya memegang kepalaku yang pening. Yang luar biasa, pemandangan di depanku bukan lagi ruang sempit di dalam kapsul. Melainkan kamar sederhana dengan lampu pijar yang menggantung. “Di mana ini?” tanyaku menelusuri lingkungan sekitar. Aku mendudukkan diriku, menyibak selimut dan duduk terdiam di ranjang. Mungkinkah kesalahan teknis terjadi karena teknologi itu belum sempurna?

Lamunanku buyar ketika seseorang mengetuk pintu. “Laksamana! Achmad Soebardjo, Bung Karno, dan Bung Hatta meminta izin kepada Laksamana, apakah bersedia rumahnya dipakai sebagai tempat persiapan kemerdekaan bangsa Indonesia?”

Aku membuka mulutku lebar-lebar dengan tidak percaya, segera beranjak dari ranjang yang berdecit dan melihat pantulan diriku melalui cermin oval yang menggantung, bukannya wajah muda anak laki-laki berusia lima belas tahun, malah yang kudapati adalah wajah pria paruh baya yang tidak kukenal. Jika aku tidak membaca buku berjudul ‘Sejarah Kemerdekaan Indonesia’ aku tidak mungkin tahu siapa pemilik tubuh ini. Siapa lagi jika bukan Laksamana Tadashi Maeda? Ia merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut asal Jepang yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Perannya dalam kemerdekaan Indonesia amat besar. Ia meminjamkan rumahnya untuk dijadikan tempat perumusan teks proklamasi.

Aku menatap pintu penuh harap. “Sekarang tanggal berapa?”

Orang yang berada di balik pintu tampaknya terdiam, tapi dia masih menjawab dengan hormat. “Menjawab Laksamana, hari ini tanggal 16 Agustus tahun 1945.”

Aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa tanpa suara. Menatap cermin dengan gembira dan memberi perintah pada bawahan Laksamana Maeda. “Jangan biarkan polisi-polisi itu menemukan mereka, aku akan bersiap untuk menemui mereka.”

Ya benar, tokoh utamanya adalah bangsa Indonesia dan aku sebagai Laksamana Maeda adalah tokoh pendukung yang akan membantu para tokoh-tokoh proklamasi merumuskan teks Proklamasi dengan memberi perlindungan berupa rumahnya dari pengawasan polisi-polisi Jepang. Tapi, bukankah ini masih begitu keren? Rasanya aku ingin membelah tengkorak Kelima dan melihat apa isi dari otak anak itu. Bagaimana bisa dia membuat teknologi yang melawan hukum alam seperti membawa orang kembali ke masa lalu? Dengan teknologi ini manusia tidak akan bisa mengubah sejarah dan sejarah tidak lagi mempermainkan atau membingungkan manusia. Setelah aku kembali, akan kutraktir dia nasi Padang, makanan kesukaannya.

Aku buru-buru menyingkap tirai, membuka jendela dan menghirup napas dalam. Aroma segar dan tanah basah akibat hujan menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku. Aku bisa merasakan suhu tubuhku hangat, bukan lagi dingin seperti ketika berada di dalam Federasi Garuda. Senyumku semakin melebar. “Aku bisa merasakannya,”—aku bisa merasakan betapa hidup Bumi ini.

Setelah semua ini aku benar-benar memosisikan diriku sebagai Laksamana Maeda dan melakukan apa yang dia lakukan seperti yang tertulis dalam sejarah, bahkan ikut menyaksikan upacara dan detik-detik pembacaan teks Proklamasi oleh Ir. Soekarno, lalu sorakan bangsa Indonesia yang meneriakkan kata ‘Merdeka!’ sampai surat keputusan pemanggilanku untuk kembali ke Jepang berada di atas meja kerjaku.

Mengapa begitu cepat? tanyaku dalam hati. Aku sudah melalui semua ini, bahkan setelah Indonesia merdeka segera aku ditangkap dan dijebloskan ke penjara hingga tahun 1947. Pula dianggap sebagai pengkhianat sekutu karena membantu mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, negara yang sedang dijajah Jepang dan diincar sekutu. Aku masih tidak ingin meninggalkan negara ini begitu cepat.

Aku menatap surat itu dengan gelisah. “Mereka akan menyebutku pengkhianat, jika aku kembali bukankah sama saja meminta mati?” tanyaku melirik pada bawahanku.

Bawahanku itu menundukkan kepala. “Namun hukuman akan diperberat bila Laksamana menolak perintah tersebut,” sarannya.

Tentu saja aku harus kembali ke Jepang untuk mendapatkan cap pengkhianat, karena aku tidak bisa semena-mena mengubah alur sejarah. Lagi pula bukankah aku tidak boleh terlalu serakah dan berharap lebih? Kelima telah membawaku menyaksikan sejarah kemerdekaan Indonesia seperti yang aku mau sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-15 tahun. Ketimbang membaca di buku itu, apa yang kualami ini seratus kali lebih baik. Tidak ada yang mengetahui detail sebenarnya kecuali bila kita berada di posisi orang-orang pada zaman itu, dan aku telah mendapatkan apa yang aku harapkan, termasuk bertemu dengan para pahlawan kemerdekaan, menghirup oksigen alami dan merasakan kehangatan sinar matahari yang tidak pernah terjadi seratus tahun ke depan.

Ini sudah cukup, tegasku dalam hati. Aku menarik napas dalam dan menutup mataku, memberi perintah pada bawahanku. “Cepat siapkan penerbangan ke Jepang besok pagi.”

Seperti yang diharapkan, setelah aku menginjakkan kakiku di negara matahari terbit itu aku segera diseret ke Mahkamah Militer oleh pemerintah setempat. Ternyata setelah aku tiba di persidangan, hasil keputusan Mahkamah Militer menyatakan bahwa aku tidak bersalah dan dibebaskan dari hukuman apa pun. Aku tersenyum tipis, masih mengikuti alur sejarah dan melepaskan seluruh karier militer dan politikku, memilih menjadi orang biasa sampai waktu hidupku sebagai Laksamana Maeda telah habis.

Aku membuka mataku, menyipitkan mata untuk mencari pencahayaan namun hanya kegelapan yang berada di hadapan mataku. Memencet tombol di samping tanganku dan pintu kapsul terbuka. Aku segera mendudukkan diri dan merasakan seluruh tubuhku berat seperti ditimpa ribuan ton beban. Membuka mulutku tapi tidak ada kalimat yang bisa kukeluarkan. Jangan bilang jika efek sampingnya aku mengalami kelumpuhan fungsi tubuh?

Dengan terhuyung aku berjalan menuju salah satu monitor. Sebelumnya Kelima telah mengajariku cara penggunaan monitor yang ada di sini, aku menekan salah satu tombol bersamaan cahaya lampu menyala dan layar lebar menampilkan seseorang yang kukenal. Itu Kelima. Namun aku mendapati mata lelah sahabatku ini. Apa yang terjadi padanya?

Penampilan orang itu masih tidak berubah kecuali wajahnya yang makin dewasa saja, dia sedikit bingung ketika menyesuaikan posisi kamera, setelah dirasa pas Kelima segera melihat pada kamera. Suara Kelima jernih dan menghipnotis. Kalimat pertamanya membuatku tertegun bingung. “Magenta, maafkan aku karena membohongimu saat itu. Sekarang sudah berlalu berapa tahun sampai kau bangun?” tanya Kelima masih dengan wajah datarnya.

Aku menatap layar monitor dengan bingung. Oh kawan, jangan membuat lelucon seperti ini! pekikku dalam hati sambil berjalan sempoyongan menuju meja, menuangkan segelas air untuk diriku sendiri, masih tidak mengalihkan pandangan dari layar monitor. Masih memandang Kelima yang melihat ke arah lain, dia menghela napas panjang. “Kawan, aku bukan Tuhan yang bisa menciptakan teknologi yang bisa membawamu ke masa lalu. Yang bisa kuciptakan hanyalah game yang dapat merangsang otakmu sehingga seolah-olah kau merasa bisa kembali ke masa lalu, sedangkan yang terjadi pada fisikmu adalah kelumpuhan otak. Maaf, karena aku adalah sahabat yang tidak berguna.”

Tanganku yang memegang gelas jatuh dan suara pecahan terdengar nyaring di ruang sunyi ini, aku menatap Kelima dengan mata melebar. Pantas saja tubuhku terasa aneh. Tapi aku tidak marah pada Kelima, setidaknya niat Kelima untuk membuatku bahagia. Toh game itu sangat luar biasa, jika dipasarkan pada publik aku bisa menebak para pecinta gaming akan menggila. Aku menatap wajah Kelima penuh kekaguman. Senyumku membeku saat Kelima melanjutkan kalimatnya.

“Ketimbang rongsokan sampah itu, hadiah asli yang ingin kuberikan padamu adalah Bahtera Nusantara, tapi kau tampak begitu bahagia melihat teknologi itu ketimbang melihat Bahtera Nusantara.”

Kawan, kau menyebut teknologi luar biasa ini rongsokan sampah?! Tidak habis pikir, standar luar biasa bagimu itu apa Kelima? Aku makin tidak mengerti akan pola pikirmu.

Kelima terdiam sebentar, kalimat berikutnya dikatakan dengan nada penyesalan. “Aku memberikan formula penciptaan Bahtera Nusantara pada petinggi Federasi Garuda, dengan janji setelah membangun kehidupan di planet baru mereka akan kembali menghidupkan Indonesia. Seperti yang kau mau. Banyak rakyat yang tidak tahu, tapi sebentar lagi akan ada kiamat gelombang kedua yang akan menghantam Bumi.”

Mataku melebar, aku mencengkeram pinggiran meja dan mengulangi setiap kata yang diucapkan Kelima sebelumnya. Otakku dengan cepat menangkap situasi yang terjadi, tubuhku bergetar hebat, membanting meja dan membentak pada layar monitor. “Kelima bodoh! Apa kau pikir mereka akan melakukannya?!”—Apakah menurutmu pemerintah sebaik itu pada kita?Kecuali kekuasaan, uang, dan kehidupan, apa menurutmu ada hal seperti ‘rakyat’ dalam daftar hal yang mereka cintai? Mustahil!

Kelima merendahkan pandangannya, telinga Kelima memerah, dia seperti malu dan kecewa pada dirinya sendiri. Benar saja, dugaanku benar setelah mendengar kalimat berikutnya. “Tapi mereka mengingkari janji setelah Bahtera Nusantara berhasil diciptakan dari tangan para rakyat. Tidak cuma meninggalkan mereka, para petinggi Federasi Garuda memberiku tawaran tentang transmigrasi ke planet baru. Kubilang pada mereka, jika mau aku ikut, mereka mesti membawa kami semua.”

“Mereka menolak. Dan aku pun juga menolak tawaran mereka. Kupikir kau akan lebih kecewa bila aku melarikan diri bersama orang-orang itu. Aku mungkin tak bisa mewujudkan mimpimu, karena itu aku ingin menyelamatkan hidupmu.”

“Tidak apa ... teknologi itu terus kuperbaiki sampai bisa menahan serangan meteor yang sebentar lagi akan mendarat di Bumi, tentunya untuk menyelamatkanmu dari kiamat gelombang kedua.”

Dia tiba-tiba tersenyum, sekilas aku bisa melihat hal menakjubkan melalui mata Kelima. “Kawan. Jika kau melihat video ini mungkin aku sudah mati. Ah benar juga, jangan mencari jasadku, paling-paling sudah menjadi abu.”

Mendengar kalimat itu napasku segera sesak, jantungku seperti ditusuk oleh paku. Tubuhku bergetar dan kakiku terasa mati rasa. Kumohon, jangan bercanda, ini tidak lucu, kawan. Namun, Kelima pada akhirnya menjatuhkan satu kalimat menyayat hati. “Maafkan aku dan selamat ulang tahun yang ke dua puluh, kau sudah dewasa. Ya benar, lima tahun sudah berlalu setelah kejadian itu.”

Air mata menetes melalui pelupuk mataku, aku mencengkeram meja dan memandang wajah sahabatku dengan tidak percaya. Bagaimana bisa berakhir seperti ini?

Kelima tertawa lembut, dia menoleh ke belakang di mana terdapat kapsul dengan diriku yang terbaring di dalamnya. Sorot mata Kelima sangat sedih. “Bahkan setelah bertahun-tahun aku masih tidak bisa mengerti dirimu. Tapi satu hal yang pasti, bahkan jika ada satu atau dua manusia di muka Bumi ini yang berhasil bertahan hidup. Kau akan menyelamatkannya.”

“Untukmu ... aku menyembunyikan satu Bahtera Nusantara yang cuma bisa menampung dua orang. Carilah di bungker bawah tanah kakekku, Pahlawanku, Magenta.”

“Senang menjadi sahabatmu.”

Layar monitor segera mati, tubuhku merosot jatuh ke ubin batu, menutup wajahku dengan tangan dan menangis sejadi-jadinya. Kelima, Kelima, dibuat dari apa hatimu itu? Mengapa kau tidak ikut bersama para petinggi congkak itu dan hidup lebih baik? Aku tidak akan menyalahkanmu, mengapa ... sekali saja kau memikirkan dirimu sendiri dan buta akan perbedaan pola pikirmu dan orang-orang kebanyakan? Bisa-bisanya kau meninggalkanku mati, Kelima, sahabatku yang paling berharga.

Tidak tahu berapa lama aku menangis, yang pasti sampai air mataku tak bisa lagi keluar. Aku mengusap ingus yang bercampur dengan air mataku menggunakan kaos yang terakhir kali kupakai sebelum masuk ke kapsul itu. Tertawa pahit bila mengingat masa lalu saat aku mengatakan pada Kelima jika laki-laki tidak boleh menangis. Aku terisak sesenggukan, seraya menatap sekeliling dan berusaha menanamkan ingatan mengenai tempat ini, aku masih ingin menyimpan kenangan terakhir mengenai sahabatku. Berdiri diam sampai diriku tenang, aku berjalan keluar dan menaiki tangga. Memutar logam dan menariknya sampai pintu bungker terbuka. Jantungku berdetak kencang saat melihat pemandangan mengenaskan di depanku.

Sudah berapa lama semenjak kiamat gelombang kedua terjadi? Bagaimana bisa ... menjadi seperti ini? Sudah berapa lama kau mati, kawan?

Bumi sudah mati, tidak ada jejak kehidupan. Apakah mungkin ada manusia yang sanggup bertahan hidup di neraka ini? Kelima ... lihatlah ini, gunakan mataku untuk melihat pemandangan ini. Mengapa kau begitu baik? Kau bilang kau tak mengerti diriku, tapi kau pun sama, kau sendiri tidak mengerti dirimu. Kau menciptakan Bahtera Nusantara yang bisa menyelamatkan manusia, tapi orang-orang itu mengingkari janji, mengkhianati dirimu. Lihat baik-baik, manusia yang kau cintai tanpa kau sadari itu malah meninggalkanmu di neraka ini.

Bukankah lebih baik aku mati kawan? Mengapa kau mesti menyelamatku? Setidaknya aku bisa mati di tempat abumu tersebar. Di Bumi, saksi bisu yang memiliki kenangan dan sejarah seluruh kehidupan makhluk hidup di dunia ini, serta tempat yang paling kucintai. Bahkan jika kau menjadi abu, apa menurutmu aku bisa menyelamatkan Bumi yang telah dirusak oleh penghuninya sendiri?

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku: The 5 Levels of Leadership

  gambar: media.oiipdf.com Oleh : Mutahassin Bilhaq   Identitas Buku Judul               : The 5 Levels of Leadership Penulis            : John C. Maxwell Penerbit          : Center Street Tahun Terbit   : 2011 Halaman         : 452 halaman Kategori          : Leadership Bahasa             : Inggris Harga              : $17.66 Ringkasan "Leadership is one of my passions. So is teaching it. I’ve dedicate more than thirty years of my life to helping others learn what I know about leading. In fact, I spend about eight days every year teaching leadership. In the last several years, I’ve thought about it on six continents. The subject is inexhaustible. Why? Because everything rises and falls on leadership. If you want to make a positive impact on the world, learning to lead better will help you do it.” -hlm. 7 The 5 Levels of Leadership merupakan salah satu dari sekian banyak buku karya John C. Maxwell, beliau merupakan penulis, pembicara, dan sekaligus pakar

HARIAN AQUA (Vol. 33): HARGA BBM NAIK, APA KATA MAHASISWA?

Harga BBM Naik, Apa Kata Mahasiswa? (Sumber: garta.com) Malang, LPM AQUA -Selasa (12/09/2022), BBM atau singkatan dari bahan bakar minyak merupakan jenis bahan bakar yang dihasilkan dari suatu pengilangan ( refining) minyak mentah ( crude oil ). Minyak mentah yang berasal dari perut bumi ini diolah dalam pengilangan dahulu untuk menghasilkan suatu produk-produk minyak yang termasuk di dalamnya yaitu BBM. Pemerintah pada S abtu, 3 September 2022, resm i menaikkan harga BBM atau menghapus subsidi BBM. Berbagai tanggapan menanggapi kenaikan dari harga BBM tidak menyurutkan langkah pemerintah. Harga Solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter. Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter. Sedangkan pertamax yang non-subsidi naik di harga Rp 14.500 dari sebelumnya Rp 12.500 per liter.      (Sumber: pertamina.com) Berbagai respon pun tertuai terutama dari kalangan mahasiswa. Para mahasiswa memberikan beragam tanggapan mengenai kenaikan BBM yang terjadi di Indonesia.

RESENSI BUKU: SEIKHLAS AWAN MENCINTAI HUJAN

Seikhlas Awan Mencintai Hujan (Sumber: pustakabukubekas_pinterest.com) Malang, LPM AQUA -Jumat (25/03/2022) Buku ini mengajarkan cara bagaimana kita mengikhlaskan sesuatu yang kita sendiri tidak mau melepaskannya. Terkadang tuhan menghadirkan kehilangan bukan untuk ditangisi, tetapi untuk mengajari agar jangan terlalu dalam berharap pada seseorang. Tidak ada siapa pun yang akan sanggup kehilangan seseorang yang paling kita inginkan dalam hidup. Seseorang yang sangat kita harapkan untuk tinggal dan menua di bawah satu atap yang sama. Seseorang yang pernah kita bayangkan tentang menjalani suatu pagi dan menyambut matahari berdua bersama. Seseorang yang kepadanya ia pernah berencana membuat sepasang kursi, tempat di mana bisa duduk untuk menyaksikan langit senja. Seseorang yang kepadanya ia berjanji untuk saling menjaga hingga tutup usia.  Bagaimana bila nama yang kau sebut di sepertiga malammu bukan nama yang ingin Tuhan satukan denganmu?  Pada akhirnya, tidak ada yang mampu dilakukan se