Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2020

Ketika Kritik Dibungkam dengan “Sungkanisme” dan “Keberpihakan”

Ilustrasi : google image/harian nasional “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN” (Wiji Thukul) begitulah anjuran dalam sajak ini. 2018, era dimana kaum oposisi menjadi diharamkan. Oposisi adalah kaum yang berlawanan dengan jalan pemikiran kita. Maka pihak yang menjadi lawan tidak boleh mengkritik. Jelas pada keadaan seperti ini unsur “keberpihakan” menjadi salah satu unsur terkuat mematikan kritik seseorang. Notabene kritik adalah suatu cerminan yang menggambarkan sebuah pendapat dan masukkan, bagaimana menganalisis dan mengevaluasi dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, ataupun membantu memperbaiki perkerjaan. Namun yang menjadi garis besar disini adalah kritik yang disampaikanpun harus dengan metode yang baik dan benar. Dalam lingkup organisasi, perkuliahan, kenegaraan ataupun lingkup lainnya ( read :  komunitas) ada

Puisi : Pengaduan

Pengaduan Oleh : Akhsan Fikrillah P.  Aku tak dapat lagi mengawasi kata-kata  yang dialirkan ke seluruh tubuhku,  tiada pula mampu menahan tanganku  merangkai mereka jadi puisi untukmu  Ketahuilah, tiada yang sederhana kecuali diamku,  kata Rumi, jarak akan menjauhkanku dari luka walau diam dan berjarak tak sejalan  dengan keegoisan sajak-sajakku  Dalam diam, aku memilikimu  untuk kemudian kuadukan pada Rabb-ku  Jika Rabb-ku tak mencerabut rasa atau nyawaku,  maka biarkanlah aku ter-bui di sini,  di dirimu yang mem-buiku dalam sari-sari intan dan lazuardi

Puisi : Logika Patah

Logika Patah  Oleh : Reny Tiarantika  Aku bagian labirin kepala yang keluar  Aku pula bagian labirin kepala yang kedalam  Aku berada ditengah dengan nalar  Spekulasi hanyalah kelam Namun abjad tak mengarti segala Bahkan benarpun tidak Beragumen memaksa iya Padahal hanya keras yang ditegak Ohh... Satu persatu mulai berimajinasi Dengan hanyalan yang sebenarnya ilusi Mungkin hanya fokus duniawi Sikapun jadi tak manusiawi Hanya doa setipis benang kini Jadi harap tuk lanjut sejak dini Untuk pembaca penuh Bagaimana caramu pahami peluhku Saat jiwa tersungkur penuh runtuh terpatah Aku, hanya butuh logika utuh bukan logika patah

Puisi : Lika - Liku

LIKA - LIKU  Oleh : Dian Kartika Sari Lika berliku mulut syair menari  Pujangga mata memeganga kolbu asli   Dimanakah  rasa sesungguhnya  berliku?  Dimanakah hati yang sejati ? Lika - Liku Jiwa perasa berselimut hati mati Embun curiga mengalir bening murni  Perasa terkubur gejolak api  Ehtah  liku siapakah yang dapat dipercaya  Mulut siapakah?  entah siapa  Mengalahkan tantangan berliku  Siapakah yang mengalah saat sangat besar meranjak jiwa  Wahai pemula liku asmara, kala lama hilang nestapa  Lantas titik liku ayolah mati

Atas Nama Apa Idealisme Pers Mahasiswa Disampaikan?

Ilustrasi: Google image/ Media publica Jika sudah tahu bahwa  prinsip  jurnalisme adalah pada   idealismenya , mengapa masih  dipertanyakan ? Dimulai dari judul berupa kalimat tanya yang mencoba menantang para pembaca sekilas meraba-raba jawabannya. Kurang elok mungkin ketika orang lain bertanya, kita justru menimpalinya dengan pertanyaan lagi. Yang justru, akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain tak berujung. Meskipun ada peribahasa legenda:  malu bertanya sesat dijalan. Perlu diketahui tidak semua orang memiliki titik berangkat yang sama untuk menjadi bagian dari pers mahasiswa (persma). Masih banyak dari teman-teman yang mengira bahwa persma hanya sebagai tempat pelatihan jurnalistik. Memang betul jika persma menjadi wadah pelatihan skill jurnalistik, walau tak dipungkiri organisasi tersebut juga menjadi wadah pendidikan karakter anggota-anggotanya. Namun pertanyaan seperti judul diatas sangat wajar untuk dipertanyakan mengingat apa yang dilakukan oleh p

Tirto Adhi Soerjo : Sang Bapak Pers Nasional

Sumber : wikipedia Tirto Adhi Soerjo (lahir sebagai Raden Mas Djokomono di  Blora , 1880 – meninggal di  Batavia , 7 Desember 1918 pada umur 37 atau 38 tahun) adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S.. Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905),  Medan Prijaji   (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan  Sarikat Dagang Islam . Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah  pribumi  Indonesia asli. Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Ja

Dibalik Degradasi Kebenaran Sebuah Informasi

Ilustrasi : google image/goAceh Secara bahasa,  informasi memiliki arti pesan (ucapan atau ekspresi) atau kumpulan pesan yang terdiri dari  order sekuens  dari simbol, atau makna yang dapat ditafsirkan dari pesan atau kumpulan pesan. Namun saat ini informasi tidak sekadar digunakan sebagai media penyaji informasi publik tetapi juga dijadikan alat saji peristiwa yang mampu menggiring opini pembaca dan berdampak luas serta signifikan terhadap pola pikir masyarakat. Singkatnya, informasi telah menjadi objek pembentuk wacana dan ideologi. Contohnya peristiwa berdarah G30S/PKI yang hingga saat ini telah menjadi stigma bahwa komunis adalah fundamentalisme agama dan negara, yang oleh sebab itu segala bentuk pemikiran komunisme haram hukumnya hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia. G30S/PKI menjadi informasi besar ( grand information ) dalam dunia sejarah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa anti-komunis. Selama informasi-informasi ini masih bertahan menghegemoni masyara

Ketika Kritik Dibungkam dengan “Sungkanisme” dan “Keberpihakan”

Ilustrasi : google image/harian nasional “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN” (Wiji Thukul) begitulah anjuran dalam sajak ini. 2018, era dimana kaum oposisi menjadi diharamkan. Oposisi adalah kaum yang berlawanan dengan jalan pemikiran kita. Maka pihak yang menjadi lawan tidak boleh mengkritik. Jelas pada keadaan seperti ini unsur “keberpihakan” menjadi salah satu unsur terkuat mematikan kritik seseorang. Notabene kritik adalah suatu cerminan yang menggambarkan sebuah pendapat dan masukkan, bagaimana menganalisis dan mengevaluasi dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, ataupun membantu memperbaiki perkerjaan. Namun yang menjadi garis besar disini adalah kritik yang disampaikanpun harus dengan metode yang baik dan benar. Dalam lingkup organisasi, perkuliahan, kenegaraan ataupun lingkup lainnya ( read :  komunitas) ada sebua