Langsung ke konten utama

Cerpen : Dari Jendela Depresi

 


Adalah lara yang tak terlihat.
Dari diri yang tak sebenarnya
Dari bahagia yang tertutup paksa, pada batin yang terbiasa oleh luka

Aku rasa menertawai ketidakberdayaan adalah suatu yang wajar bagiku. Darinya aku belajar bahwa semua bahasa tak bisa terkatakan, dan mungkin warna, tatap, tangis, simbol, serta senyuman akan sedikit melukiskan; bahwa kita tak terluka sendirian dan untuk itu kita perlu saling membersamai tanpa niat bertambah melukai, seharusnya.

Jangan membandingkan luka – Kita tak sama

“Lagi….”, untuk kesekian kali aku selalu terbangun di tengah malam dengan segala mimpi buruk, kulihat jam menunjukkan pukul 00.07 WIB, aku menghela nafas panjang dan sejenak aku terdiam, terpaku menatap dentingan jam di diding kamar. Seakan mengisyaratkan bahwa tak ada jeda sedikitpun untuk bernafas dan terlelap. Hampir setiap malam aku dilanda rasa ketakutan dan kebingungan, relung-relung di dadaku penuh sesak dan nadiku berdetak liar. Aku berusaha menutup kembali mataku, menarik selimut warna merah muda kesukaanku dan berharap semuanya dapat kembali seperti dulu. Tak perlu lagi ada tangisan tertahan yang harus kusumbat dengan ujung-ujung selimutku, tak perlu lagi ada sayatan-sayatan abstrak yang memuaskan sakit di hatiku, dan tak perlu ada lagi gerakan bodoh yang harus kulakukan untuk menutupi segalanya dengan menarik sudut-sudut bibirku.

Sudah lama aku menderita, cukup dalam dan sangat berbekas bagiku. Bisa saja orang mengira aku ini orang yang paling bahagia di muka bumi. Aku memiliki banyak teman, aku memiliki bakat yang aku banggakan, dan aku dianugerahi kecerdasan dari-Nya. Namun tak jarang pikiran-pikiran tak jelas merasuki indra-indraku. Membuat lidahku kelu, leherku kering, dan badanku dingin. Ketakutan sudah menjadi sahabat baikku, dan rasa sakit sudah menjadi bayanganku. Terkadang aku juga masih menggantungkan kepulihanku kepada orang lain, pernah sesekali aku bercerita tentang sedikit apa yang aku rasakan, tapi jawaban dari mereka justru membuat kondisiku semakin parah “Kamu kurang ibadah sih, kamu nggak bersyukur sih, kamu banyak maunya sih”, dan masih banyak lagi, mungkin itu beberapa kalimat yang sering aku dengar dan lainnya seperti “Alay banget sih, lebay deh, nggak jelas banget, baperan”, dan ada beberapa orang dengan terang-terangan mengataiku gila. Andaikan kala itu aku sanggup berucap mungkin aku hanya ingin menyampaikan “Kalian belum pernah menjadi aku, dan kita berbeda”.

Sebagian orang menyarankanku untuk memperbanyak ritual-ritual keagamaan, bukannya aku tak mau ataupun tak pernah mencoba, hanya saja aku pernah mencoba dan itu tidak terlalu memberikan efek yang berarti, mungkin aku bagian dari salah satu ribuan orang yang akan mendapatkan ruang katarsis tanpa melibatkan ritual keagamaan.
***
Hari sudah pagi, aku masih merebahkan badanku diatas kasur dan sesekali menenggok suasana luar dari jendela kamar “Buram, tertutup embun” gumanku, suasana hari ini memang sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya, cuaca mendung dan terasa dingin, bahkan akupun tak bersedia melepaskan selimut yang sedari tadi menghangatkan tubuhku.

Butiran demi butiran salju terlihat berjatuhan di atas pucuk cemara juga sudah memutih, aku menyadarkan dahiku yang hangat di jendela. Setiap hembusan nafasku yang bersuhu lebih tinggi dari suhu ruangan berubah menjadi kabut dihadapanku. Sebagian lagi menjadi titik embun yang menempel di kaca jendela yang tengah aku sandari. Didadaku, sebuah berkas amplop cokelat yang ujung-ujungnya terlipat, aku peluk erat-erat. Berkas yang dari dulu sengaja aku abaikan dan tidak aku hiraukan kini benar-benar menghimpitku dan membuatku merasa sesak.

Dengan padangan kosong, aku menatap foto kemenangan lomba business plan yang pernah aku ikuti, terpampang nyata namaku “Olivia Yhwach”, aku memandanginya cukup lama sambil memegang erat berkas di amplop yang sedari tadi tidak aku lepas dari genggaman tanganku, dan seketika padanganku teralihkan ketika getaran ponsel menyadarkanku dari tatapan kosong itu.

            “From              : Jiren@gmail.com
            “Subject           : ….”

“Ponselku hilang, jadi aku terpaksa memberimu kabar via email melalui laptopku. Gimana kabarmu? Masih sakit? Disini cuacara nggak tentu, parah..”
“Pulang tanggal berapa? Orang-orang rumah udah kangen nih..”

Tanpa membaca ulang e-mail itu apalagi membalasanya aku me-log out akunku dan menutup beberapa aplikasi serupa. Betapa hati bisa dengan mudah berganti suasana karena sebuah peristiwa. Aku menyimpan ponselku dan menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Aku menyandarkan kepalaku yang berat ke dinding. Andai semua masalah bisa dihitung dalam satuan massa, entah berapa ratus kilogram telah membebani kepalaku.

Sudah beberapa menit aku berada dalam posisi seperti ini, seperti amoeba, lama-lama semakin banyak dan merambah mencari ruang sampai ke dadaku, sangat sesak. Tanpa kusadari setetes air keluar dari mataku yang meluncur bebas ke pipiku yang pucat. Butiran air mata tersebut disusul oleh butiran-butiran lain yang tak bisa aku tahan. Aku menggigit bibir bawah, berusaha menahan isakan-isakan kecil kecil yang keluar dari mulutku. Tapi aku selalu menyakinkan diriku bahwa aku kuat.
***
Warna-warna kehidupan mulai pudar dari mataku, seolah aku hanyalah boneka rusak tak tahu mau berbuat apa. Terkadang aku ingin tertawa. Tertawa melihat diriku sendiri. Ketika aku melihat kedalam kejujuran, yang kulihat hanyalah seorang anak perempuan, menangis, memanggil dalam diam, akan kehidupan lain yang dapat ia tulis, Ia bernyanyi pada dunia, namun dunia seakan berjalan terlalu cepat untuk mendengar cicit kesakitan seorang insan manusia. Dunia seakan terlalu besar untuk seorang anak kecil tak berbekal apapun. Aku ingin sekali tertawa, walau air mataku mengalir di pipi, agar diriku tahu aku masih bisa bangkit lagi.

Setiap hari aku menuliskan melodi-melodi mimpi, yang mungkin terdengar kecil dan tak berarti. Setiap hari aku berdoa, meminta kekuatan untuk melalui satu hari lagi. Namun tanganku seakan telah diatur, seakan mataku takkan puas bila belum melihat cucuran kehidupan jatuh dalam air.

Kembali aku menatap dinding-dinding dingin, keringat dingin mengucur deras di keningku. Kulayangkan padanganku pada sisa pil-pil yang berjatuhan di sekitar botol kaca, lalu kualihkan pandanganku pada lengan-lenganku yang berlumur cairan kehidupan. “Berapa lama lagi? Berapa lama lagi yang kuperlu untuk meninggalkan tempat terkutuk ini? Akankah aku pergi ke tempat penghukuman? Ah biarlah. Biar kunikmati segala kesakitan yang memang layak kutanggung, entah karena dosaku atau bukan, aku tak perduli. Aku kembali tertawa, aku tersenyum pada gambaran diriku, aku tersenyum dan aku menutup mataku.
***
“Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan, kebersamaan hanya memperbanyak ruang tertutup. Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan, hanya saja takdir kita yang beberbeda”. Notif pesan email:
           
            “From              : Jiren@gmail.com
            “Subject           : ….”

“Hei, sudah hampir dua minggu kamu nggak bales email aku, kamu kemana?”
“Masih sibuk nugas kuliah?”

(Hari itu tak ada kegiatan apapun di kamar Olivia Yhwach, sepi dan hening).


Author: Reny Tiarantika

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku: The 5 Levels of Leadership

  gambar: media.oiipdf.com Oleh : Mutahassin Bilhaq   Identitas Buku Judul               : The 5 Levels of Leadership Penulis            : John C. Maxwell Penerbit          : Center Street Tahun Terbit   : 2011 Halaman         : 452 halaman Kategori          : Leadership Bahasa             : Inggris Harga              : $17.66 Ringkasan "Leadership is one of my passions. So is teaching it. I’ve dedicate more than thirty years of my life to helping others learn what I know about leading. In fact, I spend about eight days every year teaching leadership. In the last several years, I’ve thought about it on six continents. The subject is inexhaustible. Why? Because everything rises and falls on leadership. If you want to make a positive impact on the world, learning to lead better will help you do it.” -hlm. 7 The 5 Levels of Leadership merupakan salah satu dari sekian banyak buku karya John C. Maxwell, beliau merupakan penulis, pembicara, dan sekaligus pakar

HARIAN AQUA (Vol. 33): HARGA BBM NAIK, APA KATA MAHASISWA?

Harga BBM Naik, Apa Kata Mahasiswa? (Sumber: garta.com) Malang, LPM AQUA -Selasa (12/09/2022), BBM atau singkatan dari bahan bakar minyak merupakan jenis bahan bakar yang dihasilkan dari suatu pengilangan ( refining) minyak mentah ( crude oil ). Minyak mentah yang berasal dari perut bumi ini diolah dalam pengilangan dahulu untuk menghasilkan suatu produk-produk minyak yang termasuk di dalamnya yaitu BBM. Pemerintah pada S abtu, 3 September 2022, resm i menaikkan harga BBM atau menghapus subsidi BBM. Berbagai tanggapan menanggapi kenaikan dari harga BBM tidak menyurutkan langkah pemerintah. Harga Solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter. Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter. Sedangkan pertamax yang non-subsidi naik di harga Rp 14.500 dari sebelumnya Rp 12.500 per liter.      (Sumber: pertamina.com) Berbagai respon pun tertuai terutama dari kalangan mahasiswa. Para mahasiswa memberikan beragam tanggapan mengenai kenaikan BBM yang terjadi di Indonesia.

RESENSI BUKU: SEIKHLAS AWAN MENCINTAI HUJAN

Seikhlas Awan Mencintai Hujan (Sumber: pustakabukubekas_pinterest.com) Malang, LPM AQUA -Jumat (25/03/2022) Buku ini mengajarkan cara bagaimana kita mengikhlaskan sesuatu yang kita sendiri tidak mau melepaskannya. Terkadang tuhan menghadirkan kehilangan bukan untuk ditangisi, tetapi untuk mengajari agar jangan terlalu dalam berharap pada seseorang. Tidak ada siapa pun yang akan sanggup kehilangan seseorang yang paling kita inginkan dalam hidup. Seseorang yang sangat kita harapkan untuk tinggal dan menua di bawah satu atap yang sama. Seseorang yang pernah kita bayangkan tentang menjalani suatu pagi dan menyambut matahari berdua bersama. Seseorang yang kepadanya ia pernah berencana membuat sepasang kursi, tempat di mana bisa duduk untuk menyaksikan langit senja. Seseorang yang kepadanya ia berjanji untuk saling menjaga hingga tutup usia.  Bagaimana bila nama yang kau sebut di sepertiga malammu bukan nama yang ingin Tuhan satukan denganmu?  Pada akhirnya, tidak ada yang mampu dilakukan se