Langsung ke konten utama

Cerpen : Dunia Labirin

 

Adalah lorong yang akhirnya tak berujung.
Untuk kalian yang sudah atau akan bertemu di dunia ini.
....... Aku menyanyangimu, sungguh.

-Dari penulis yang tak kunjung bertemu terang-

Berawal dari tiga hari pengajaran, puluhan manusia tengah berdiri mengucapkan janji. Sebagian akan pergi dan sebagian lagi akan kembali, dan mungkin sebagiannya lagi akan bertahan dari awal hingga akhir. Cerita ini di mulai ketika pelupuk mata dengan suburnya menjaga sebuah kesedihan. Terima saja, karena kata kesedihan akan dijemput dengan terciptanya kata kebahagiaan.
***
Apakah kalian mengerti mengapa “rumit” diciptakan? atau lebih mudahnya, apakah kalian mengerti mengapa pilihan itu ada?, mungkin sebagian orang sudah paham dan sebagian lagi masih mempertanyakannya juga, seperti Arkana Priest. Ia sosok yang tak pernah keluar dari bagian labirinnya, bahkan untuk mengenali lebih dalampun ia tak berani. Tahun lalu ia yang dipeluk insan-insan berhati nurani, kini ia harus memeluk insan baru yang memasuki dunia yang sama dengannya.
           
Ada yang ingin dipesan tuan?”, perempuan beraroma kopi itu mendatanginya
“Seperti biasa, nona bermata sendu, Nona Agista Whis”, perempuan itu tersenyum mendengar jawaban dari Arkana. Tak selang beberapa waktu, Agista menghampiri Arkana “Dua cangkir espresso coffee panas dan 1 lembar kertas lengkap dengan penanya, tuan”. Arkana memang pelanggan setia di sebuah kedai kopi dekat Ibu Kota, bahkan tak jarang ia sering berbagi cerita dengan barista beraroma kopi yang sering ia panggil Agista. Sesaat setelah pesanan datang, Arkana langsung asyik menulis. Terimakasih diucapkan tanpa menatap lawan bicaranya. Setiap gerak pena adalah pembebasan dari setiap apa yang bergelut di labirinnya, dimana gagasan-gagasan berlarian untuk diwujudkan. Bahkan sejujurnya ia tak begitu mengerti dengan apa yang ia tulis.

“Bagaimana? kehidupan terus berkembang, jika kita berhenti berkembang secara fisik dan mental, kita sama saja dengan orang mati. Aku rasa semua orang mempunyai rasa empati. Hanya, kita yang tidak mempunyai keberanian untuk menunjukkannya”, ucap Agista yang lantas meninggalkannya tanpa isyarat pergi.
***
Ia merebahkan badannya di atas kasur, menatap langit-langit dan terus mempertanyakan tentang keberadaannya di dunia ini. Ia menggambil ponselnya dan terlihat wallpaper foto saat ia mengikuti forum self healing bersama teman-teman yang bernasib sama. Lantas ia mengingat ucapan dari salah satu pemateri pada forum tersebut “Tuhan membiarkan semuanya terjadi dengan satu alasan. Semua itu adalah proses belajar dan kalian harus melewati setiap tingkatannya”, kurang lebih begitulah kata-kata yang mampu ia ingat di kepalanya.

“Arghhhhhh….. sial! Bodoh sekali aku”, ia berguman kesal lantas berlari kembali menuju kedai kopi dimana Agista bekerja. “Hidup adalah sebuah pemberian. Dan hidup memberikan kita keistimewaan, kesempatan, dan tanggungjawab untuk menjadi seseorang yang lebih baik”

“Agistaaa..” teriak Arkana, perempuan itu tak menjawab sapaan Arkana, namun langsung memberikan isyarat dengan menunjuk seorang gadis kecil yang tengah duduk di depan teras kedai kopi dengan tatapan penuh kesedihan. Sepertinya Arkana paham dengan maksud Agista dan beranjak menghampiri gadis kecil itu.
           
Luka, aku yang terluka
Menghilang, aku yang ditinggal layaknya ilalang
Musnah, aku yang akan lenyap dan punah
Awal dan akhir
Permohonann… Tuuu..Hann…

(Meneteskan air mata), entah apa yang dikatakan gadis itu, maksudnyapun tak ada yang paham, mungkin hanya Arkana yang bisa memahaminya.

“Hai gadis kecil, aku Arkana, selamat datang di dunia yang sama, aku akan memelukmu erat dan menyanyangimu, bahagialah karena sedih ini akan segera berakhir. Bukan masalah siapa yang datang, tapi siapa yang bertahan sampai akhir dan tidak meninggalkan. Awal cerita ini bermula dengan air mata, apabila jarak teretas serta jalan bercabang, tetaplah ingat kilometer terakhir bukanlah tempat henti, nikmati tangismu, karena ketika keluar dari labirin belum tentu akan merasakan hal yang sama, sekali lagi ku ucapkan SELAMAT DATANG, gadis itu menatap Arkana dengan tatapan berarti, lalu ia mengulurkan tangannya.


Author: Reny Tiarantika


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERPEN JEJAK DI UJUNG SENJA - YAHYA AHMAD KURNIAWAN

  Jejak di Ujung Senja  karya: Yahya Ahmad Kurniawan Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh pegunungan hijau, hiduplah seorang pemuda bernama Arif. Setiap sore, saat matahari mulai merunduk di balik bukit, Arif selalu berjalan ke tepi danau yang tenang. Danau itu adalah tempat favoritnya, tempat di mana ia bisa merenung dan melupakan segala beban hidup.  Suatu hari, saat Arif duduk di tepi danau, ia melihat seorang gadis asing yang sedang menggambar. Rambutnya panjang dan berkilau seperti sinar matahari, dan senyumnya mampu menghangatkan hati siapa pun yang melihatnya. Arif merasa tertarik dan mendekatinya.  “Nama saya Arif,” katanya dengan suara pelan.  Gadis itu menoleh dan tersenyum. “Saya Lila. Saya baru pindah ke desa ini.”  Mereka pun mulai berbincang. Lila bercerita tentang kota asalnya yang ramai, sementara Arif menceritakan keindahan desa danau yang mereka tempati. Sejak saat itu, mereka menjadi teman akrab. Setiap sore, mereka bertemu di tepi ...

RESENSI BUKU: PERTEMUAN DUA HATI

PERTEMUAN DUA HATI (Sumber: bukabuku.com) A.                Identitas Buku a)                  Judul Buku                  : Pertemuan Dua Hati b)                  Pengarang                   : Nh. Dini c)                   Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama Jakarta d)                  Tahun Terbit  ...

CERPEN: Pelangi Dibawah Langit Basah

  Pelangi Dibawah Langit Basah        Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, hiduplah seorang pemuda bernama Langit. Ia adalah seorang pelukis yang menghabiskan sebagian besar waktunya di tepi sungai, menciptakan lukisan-lukisan indah yang terinspirasi dari alam sekitarnya. Namun, meski hidup dikelilingi keindahan, hatinya terasa sepi. Suatu sore, saat langit mulai gelap, Langit melihat seorang gadis duduk di tepi sungai. Gadis itu bernama Senja pendatang baru di desa itu. Dengan rambut panjang yang tergerai dan mata yang bersinar, Senja tampak terpesona oleh keindahan alam di sekelilingnya. Langit merasa tertarik dan, tanpa ragu, ia mendekatinya. "Hai, aku Langit. Apa yang kamu lukis?" tanyanya sambil melihat sketsa di tangan Senja.  Senja tersenyum. "Aku sedang mencoba menggambar pemandangan ini, tapi rasanya sulit. Kamu seorang pelukis?"  Langit mengangguk. "Aku lebih suka melukis lanskap. Mari aku tunjukkan beberapa teknik."  ...