Social Standard Disease
(Sumber: picjumbo.com_pexels.com)
Malang, LPM AQUA-Rabu (16/02/2022) Beberapa dari kita terlahir dengan ciri
khas, bakat dan minat yang berbeda-beda. Semuanya terlahir dari suku-suku dan
golongan-golongan yang berbeda, perjalanan spiritual yang berbeda, lika-liku
hidup yang berbeda. Pencapaian tiap-tiap manusia pun berbeda. Ada yang 25 tahun
sudah menjadi pebisnis, ada yang masih bingung mencari pekerjaan kesana kemari
dengan optimis. Ada yang masih berkutat dengan dunia perkuliahan hingga bosan
dan pesimis.
Semua manusia lahir dengan keunikan dan
pencapaian masing-masing. Lalu pertanyaannya adalah apakah kita semua harus
patuh dan tunduk pada standarisasi? Standarisasi
sosial ini sudah mengakar dari generasi ke generasi. Dimana standar sosial ini
sangat membebani pikiran kita. Mungkin banyak berbagai contoh terkait standar
sosial yang sudah mengakar sejak dari orang tua kita kepada kita atau bahkan
yang kita alami sepanjang bertambahnya usia kita juga. Mungkin akan saya
sajikan beberapa contohnya :
- Anak yang suka matematika dianggap lebih pandai daripada anak yang suka seni
- Menikah diatas 30 tahun dibilang sudah terlalu tua
- Orang yang bekerja pulang larut malam adalah orang-orang dengan pekerjaan “gelap”
- Pekerjaan idaman orang tua adalah PNS atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan ASN
Masih banyak sekali contoh standar
sosial yang selalu ada dan selalu ditemui
pada kehidupan ini. Di atas hanyalah segelintir dari
ratusan atau bahkan ribuan standar sosial. Manusia selalu takut akan hal itu, takut
berbeda. Padahal menjadi berbeda tidak salah sama sekali, menjadi berbeda
berarti menjadi diri kamu sendiri. Manusia punya kebebasan berpendapat dan
kebebasan berekspresi, kalau ternyata kebebasan-kebebasan tersebut harus
dibatasi, maka esensi menjadi manusia seutuhnya menjadi berkurang bahkan
hilang. Tidak ada
yang salah kalau seseorang memilih jalan hidupnya sendiri yang berbeda dari kebanyakan
orang.
Mari kita ambil sisi positifnya.
- Bagaimana jika ternyata keluarga kita adalah keluarga seniman? Apakah tidak ada sedikit darah seniman dalam diri kita? Tentu ada, lantas kenapa harus dicap tidak pandai dibanding mereka yang menyukai matematika?
- Ketika menikah diatas 30 tahun, apakah salah? Bagaimana kalau ia harus membiayai pengobatan keluarga, atau membiayai kebutuhan adik-adiknya yang sudah menginjak bangku perkuliahan?
- Bagaimana jika jarak rumah dan kantor mereka jauh? Kemacetan terjadi di beberapa titik, serta transportasi umum yg sulit ditemui di sana? Masuk akal bukan kalau mereka harus pulang terlambat tidak seperti orang bekerja pada umumnya?
- Bagaimana dengan orang-orang di industri kreatif yang makin tahun makin meningkat? Perfilman, editor buku, content creator dan masih banyak lagi pekerjaan dibidang industri hiburan/kreatif lainnya. Apakah hal itu buruk sehingga pegawai negeri selalu diunggulkan?
Semuanya boleh menjadi apapun, boleh
memilih apapun selama mampu bertanggung jawab dan tidak merugikan orang lain atas
apa yang ia pilih. Kita ini merdeka nantinya, jangan sampai hanya karena
cita-cita orang tua atau lingkungan kita dapat membunuh
mimpi generasi masa kini. Jangan sampai hanya karena tidak sama dengan
lingkungan sekitar lantas kita merasa kodrat kita menjadi rendah, tidak. Menjadi
berbeda itu tidak salah, selama tidak melakukan kesalahan. Sebab mau sebaik,
sesempurna apapun akan tetap ada orang-orang yang membicarakan kita nantinya.
Jadi, apa yang kamu pilih? Dicibir karena pilihan/tuntutan lingkungan atau
dicibir karena pilihan sendiri? (abp)
Komentar
Posting Komentar