Nestapa NKRI: Jemari, Mengapa Engkau?
Mungkin pepatah "
Mulutmu Harimaumu" akan berganti jadi "Jarimu Harimaumu" untuk
orang yang bermain media sosial. Kenapa begitu? Lantas apa hubungannya dengan
nasib NKRI sekarang?
Pertanyaan ini sering
muncul diberbagi forum diskusi saat ini, baik itu forum atas nama legal formal
ataupun hanya sekadar forum cuitan layaknya di media sosial. Di tahun 2019 ini
narasi kebangsaan sering kali dijadikan bahan perbincangan publik, meskipun
dapat diketaui bersama narasi seperti sudah sering menjadi diskusi tahunan pada
tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi pada tahun 2019 ini sangatlah berbeda,
nampaknya sudah bukan hal yang aneh jika kita semua mengetahui pepatah “Jarimu
Harimaumu”. Bagaimana tidak, melihat kondisi demokrasi yang tengah berkawin
dengan media sosial cukup memberikan ruang untuk seseorang yang secara alamiah
memiliki sifat ingin di-recognize, ingin diketahui, dan ingin
dilihat. Ruang gerak seperti halnya tersebut memberikan akses kepada
seseorang untuk meng-create berita, meng-create narasi,
dan membagikannya. Kemudian orang-orang ingin di-confirm bahwa dia
betul, bahwa dia benar.
Untuk sekarang,
teknologi yang semakin canggih dan mewabahnya media sosial mulai dari whatapps,
line, facebook, instagram, twitter, bbm, dan aplikasi chatting lainnya memudahkan
kita untuk berkomunikasi serta memberikan informasi secara cepat. Kebebasan
berpendapat dimuka umumpun juga sangat mudah untuk diterapkan, dengan bermodal
membuat status dan orang akan membagikan status tersebut maka seluruh dunia
bisa membacanya.
Namun yang perlu
diperhatikan adalah penyebaran berita atau informasi hoaks menjadi isu yang
berbahaya dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat. Isu Suku, Agama, Ras, dan
Antar golongan (SARA) hingga ujaran kebencian menjadi materi berbahaya dalam
penyebaran berita hoaks, terutama memasuki tahun politik menjelang pemilu
2019. Pentingnya peran serta pemerintah maupun masyarakat untuk mengatasi
dan mengantisipasi bahaya hoaks, dengan melakukan klarifikasi berita yang benar
kepada masyarakat. Tidak hanya berhenti disitu saja, pemilihan kata yang
ditulis oleh jari-jari netizen sudah sepantasnya untuk
didiskusikan. Mengingat beberapa dekade kebelakang banyak sekali cuitan
bernuansa kebangsaan yang cenderung bersifat provokatif dan berimbas terhadap
kekondusifan negara. Hal ini bisa dilihat dari beberapa komentar netizen yang
saling debat kusir di media sosial, bukan solusi yang ditemukan atas sebuah
permasalahan malah adu argumen (cenderung pada egosentris) dan rasisme golongan
yang kian hari kian menjadi. Apabila hal ini terus dibiarkan maka tidak menutup
kemungkinan bangsa ini (NKRI) hanya akan dipenuhi oleh orang-orang
berkepentingan yang tidak bertanggung jawab atas kerusuhan pada tingkatan bawah
(sebut saja rakyat). Jika seperti ini bukan persatuan lagi yang akan terjadi di
Indonesia melainkan hal sebaliknya.
Tidak bisa dipungkiri
media sosial saat ini tak ubahnya seperti senjata tajam nan dahsyat. Ia dapat
digunakan untuk tujuan dan sarana kebaikan seperti informasi kegiatan,
mengambarkan segala kejadian dan bisa digunakan menyambung silaturahim dan
berbagi ilmu pengetahuan. Namun, dapat pula diarahkan untuk menistakan,
mengerdilkan, mengabaikan, menusuk dan atau bahkan membinasakan figur
orang. Oleh sebab itu pada kasus di sosial media pemilihan kata menjadi vital.
Kata-kata yang digunakan harus diperhatikan agar tidak menjadi debat kusir.
Kata-kata yang digunakan oleh seseorang bisa berdampak ke segala hal. Terlebih
lagi permasalahan yang menyangkut kebangsaan. Melihat persoalan diatas sudah
selayaknya kita sebagai bagian dari warga NKRI menjaga jari-jari kita untuk
tidak mengetik hal-hal yang berbau provokasi ataupun sara. Jangan biarkan
NKRI hanya menjadi nestapa karena ulah jari-jari yang tak bertanggung jawab.
Komentar
Posting Komentar