HUJAN
Oleh : Dian Nisa
Sendirian, hanya ditemani secangkir caramel macchiato
panas sembari melihat rintik hujan.
Hari ini aku berniat menikmati sore yang tenang. Padahal
tugas-tugas kuliah sedang menunggu di rumah untuk kukerjakan. Biarlah, aku
ingin memberikan diri ini hadiah setelah seminggu ini kupaksa untuk bekerja
terus.
Jalanan depan kafe lumayan ramai hari ini. Tak seperti
biasanya. Saat aku datang ke kafe ini biasanya hanya ada beberapa pengunjung
dan kendaraan yang lewat. Itu karena bisa dibilang kafe ini lumayan tersembunyi
dari keramaian. Mataku menyapu jalan, mulai dari ujung kanan hingga ujung kiri.
Terus begitu, hingga aku menemukan sesuatu.
“Kenapa dia ada di sana? Dia terlihat aneh,”
batinku.
Kupandangi terus dia. Heranku, mengapa dia tidak berteduh
di halte yang ada di sebelahnya? Dia lebih memilih untuk membiarkan tubuhnya
dihantam oleh rintik hujan yang mulai ramai berjatuhan. Hahh sudahlah, kenapa ku
harus merepotkan hal seperti itu. Kulanjutkan lagi kegiatan menggambarku yang
sempat terhenti.
Aku menghabiskan waktu luangku dengan membuat
sketsa. Sebenarnya aku ingin masuk jurusan fashion, tapi ternyata orang
tuaku lebih suka kalau aku masuk jurusan bisnis. Alasannya agar aku bisa melanjutkan
usaha mereka.
Tak terasa sudah hampir setengah jam aku fokus
dengan sketsa yang kubuat. Akhirnya selesai juga. Tak sia-sia aku datang ke
sini untuk mencari inspirasi.
“Hmmm habis ini aku ngapain ya?”
Iseng kulihat lagi ke luar jendela. Apakah laki-laki
itu masih tetap di sana? Dan wow! Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat! Dia
masih berdiri di sana, di tengah hujan, sambil terus melihat smartphone-nya.
Apa orang itu benar-benar tidak berniat untuk berteduh? Apa dia tidak
kedinginan?
“Orang aneh,” pikirku.
“Ehm sepertinya aku harus memesan sandwich,” kataku
sambil berjalan meninggalkan mejaku menuju kasir. Padahal tadi aku sudah makan
nasi goreng sebelum berangkat ke kafe. Bisa-bisanya aku sudah merasa lapar lagi
dalam kurun waktu 3 jam.
Saat aku hendak kembali ke mejaku, aku dikagetkan
dengan orang yang mengantre di belakangku. Tak kusangka pria yang tadi kulihat
dari jendela akan mampir ke kafe ini. Satu hal lagi yang kuherankan, kapan dia mengeringkan
pakaian? Saat ini dia terlihat bersih dan rapi. Seharusnya dia basah kuyup
mengingat dia hujan-hujanan sejak tadi.
Aku kembali ke mejaku sambil berpikir. Bagaimana
bisa dia mengeringkan pakaian secepat itu? Oh atau mungkin dia membawa baju
ganti? Yap sepertinya begitu.
Laki-laki itu telah selesai memesan dan dia memilih
untuk duduk di bangku yang berada di pojok. Jarak kami lumayan jauh. Sudahlah,
biarkan saja orang asing itu. Sebaiknya aku lanjut untuk membuat sketsa baru.
Tak lama pelayan datang mengantarkan pesananku dan
sebuah kertas. Kutanya dari siapa kertas ini dan pelayan tersebut menunjuk laki-laki
yang mengantre di belakangku tadi. Heran, mengapa dia melakukan ini? Mengajakku
berkenalan? Hahaha lucu.
Kubuka kertas yang kudapat tadi.
“Hai, boleh kutahu di mana rumahmu?” begitulah isi
kertas tadi.
“Orang aneh,” kataku. Kenapa dia menanyakan rumahku?
Bahkan aku tidak kenal dengannya. Sopankah dia seperti itu? Sudahlah, lebih
baik kuabaikan saja.
Beberapa menit berlalu dan aku masih sibuk dengan
sketsa baruku. Namun, entah mengapa aku merasa seperti sedang diawasi. Kulihat sekeliling
kafe, namun tak ada orang aneh yang sedang menatapku. Tunggu! Kenapa orang itu
menatapku seperti itu?! Mengapa tatapannya seperti itu? Dia menatapku dengan muka
datarnya. Dia benar-benar orang aneh.
Sepertinya aku harus pindah tempat. Aku merasa tidak
nyaman lagi duduk di meja ini. Bergegaslah aku pindah ke kafe langgananku yang
lain yang tidak jauh dari tempatku tadi.
Ada satu hal yang membuatku tidak ingin ke kafe itu
lagi dalam waktu dekat ini. Oh ralat, mungkin selamanya. Saat aku membuka pintu
kafe, ingin secepatnya pergi dari kafe itu, aku tak sengaja melihatnya. Laki-laki
yang terus memandangiku tadi berkata dalam diam kepadaku.
“Aku akan menunggumu di sini. Sampai jumpa!” katanya
sambil memamerkan giginya yang rapi dengan senyumannya yang aneh.
Komentar
Posting Komentar