Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Dunia
Pendidikan
Oleh : Nova Diadara.
(Sumber : Li Lin-unsplash.com)
Bermula dari Kota Wuhan di Tiongkok,
virus Covid-19 menjadi virus baru yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Tak
terkecuali Indonesia. WHO (World Health
Organization) juga sudah menetapkan pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 yang
lalu. Pandemi Covid-19 ini berdampak besar bagi seluruh negara di dunia, begitu
juga dengan Indonesia. Beberapa dampak yang terjadi di antaranya terhambatnya
impor-ekspor, barang-barang menjadi langka dan mahal, dan wisatawan asing menurun.
Dunia pendidikan Indonesia pun tak
luput dari dampak pandemi Covid-19 ini. Bermula dari Surat Edaran Nomor 4 Tahun
2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Covid-19. Poin penting
dari edaran ini adalah pembatalan pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun 2020
dan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh secara daring.
Awalnya, pemerintah hanya memberi
himbauan untuk melaksanakan pembelajaran daring selama 14 hari saja. Namun,
dilihat dari kasus penyebaran virus corona yang semakin meningkat, maka
pemerintah terus melanjutkan kebijakan tersebut hingga 2021 sekarang.
Pembelajaran daring yang dilaksanakan sudah lebih dari setahun ini tentu
berdampak besar bagi siswa-siswi di Indonesia.
Pertama, mayoritas peserta didik
yang mengikuti pembelajaran daring merasa kesulitan dalam memahami materi yang
diajarkan. Hal ini dikarenakan ketika belajar daring, interaksi antara guru dan
murid menjadi semakin terbatas. Selain itu, banyak murid yang merasa sungkan
menghubungi gurunya karena takut mengganggu atau bahkan takut tidak bisa
menyusun kata-kata dengan baik dan sopan. Di samping itu, koneksi jaringan
internet di setiap rumah siswa berbeda-beda, terkadang ada yang koneksinya
terputus di tengah pembelajaran. Tentunya kendala-kendala tersebut akan berdampak
pada nilai akademis siswa.
Kedua, bagi mayoritas peserta didik,
pembelajaran daring terasa membosankan. Banyak dari mereka yang kehilangan
semangat bersekolah. Hal ini tentu saja memberi dampak kebosanan karena mereka
harus menatap layar gawai selama berjam-jam. Bermula dari bosan itulah mereka
akan malas dalam mengerjakan tugas. Pada akhirnya banyak orang tua yang
membantu anak-anaknya dalam mengerjakan tugas. Bahkan ada yang memasrahkan
pengerjaan tugas sepenuhnya pada orang tuanya. Hal ini tentu saja akan
menimbulkan ketergantungan siswa pada orang tua sehingga menimbulkan sikap
malas dan tidak mandiri. Orang tua yang sudah kelelahan mencari nafkah atau
tidak paham cara mengatasi permasalahan belajar sang anak terkadang malah
melampiaskan kekesalannya pada anak. Hal ini tentu akan menimbulkan rasa tidak
nyaman anak ketika belajar di rumah.
Ketiga, minim bersosialisasi. Saat
menjalani sekolah daring, anak akan lebih banyak menghabiskan waktunya di
rumah. Berkumpul bersama keluarga di rumah memang menyenangkan. Namun, segala
yang berlebihan itu tidak baik. Jika anak terlalu lama belajar di rumah, ia
tidak akan punya waktu untuk berinteraksi dengan teman-temannya ataupun
orang-orang baru. Tentunya hal ini akan menimbulkan dampak anak menjadi kaku
dalam bersosialisasi, pendiam, tidak percaya diri, dan sebagainya. Padahal
ketika kita lulus dari bangku sekolah, yang akan kita hadapi adalah dunia
masyarakat yang menuntut kita untuk selalu berinteraksi secara nyata.
Keempat, pernikahan dini. Menurut
Kemen PPN/Bappenas, 400–500 anak perempuan usia 10–17 tahun berisiko menikah
dini akibat pandemi Covid-19. Terbukti dengan adanya 34.000 permohonan
dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni
2020, yang 97%-nya dikabulkan (katadata. co.id, 16 September 2020). Angka ini
meningkat dari tahun 2019 yaitu sebanyak 23.126 perkara dispensasi kawin.
Kementerian PPPA mencatat hingga Juni 2020 angka perkawinan anak meningkat
menjadi 24 ribu saat pandemi (suara.com, 2020).
Pernikahan dini diduga karena siswa
yang sudah jenuh menjalani sekolah daring. Pada bulan Agustus tahun lalu,
seorang pelajar SMP (14 tahun) minta dinikahkan dengan pacarnya yang empat
tahun lebih tua di Provinsi NTB (MSN. com, 26 Agustus 2020). Si anak mengancam
jika tidak dinikahkan akan membuat malu keluarga karena perilaku pacaran mereka
sudah seperti pasangan suami istri. Akan tetapi, belum dua minggu menikah
anaknya minta pulang ke rumah karena suami memukul dan mencakarnya.
Selain
itu, tidak adanya dukungan dari orang tua juga menjadi faktor terjadinya
pernikahan dini. Orang tua yang minim pendidikannya akan menganggap bahwa
sekolah melepas tanggung jawab dengan adanya pembelajaran daring. Anak yang
tidak sekolah dianggap sebagai beban keluarga seiring dengan menurunnya
perekonomian selama pandemi. Oleh karena itu, orang tua mengambil keputusan
untuk menikahkan anaknya dengan tujuan memindahkan beban tersebut pada orang
lain.
Di
samping itu, meningkatnya angka kehamilan di luar nikah juga turut menyumbang
angka kenaikan pernikahan dini. Di Provinsi D.I. Yogyakarta, selama tahun 2020,
dari 700 dispensasi kawin yang dikabulkan di pengadilan agama, 80%-nya
disebabkan karena kehamilan di luar nikah (Kumparan, 13 Januari 2021).
Padahal,
pernikahan dini jelas lebih banyak dampak negatifnya. Bayi yang dilahirkan oleh
perempuan di bawah umur memiliki risiko lebih besar mengalami kematian,
stunting, keguguran, dan kekurangan berat badan. Selain itu, pasangan muda akan
lebih rentan terjadinya praktik Kekerasan Dalam Rumah Tangga karena belum mampu
dalam mengelola emosi. Belum lagi pasangan muda yang belum siap secara
finansial justru akan menggantungkan beban pada keluarga besarnya.
Dilihat
dari dampak-dampak yang terjadi karena sekolah daring, maka akan lebih baik
jika pemerintah membuka pembelajaran tatap muka kembali secepatnya. Hal
tersebut harus dilakukan agar dampak-dampak negatif sekolah daring tidak terus
berlanjut menjadi makin parah. Menurut saya, kita akan terus berdampingan
dengan virus corona ini. Manusia diberi akal untuk berpikir. Jadi,
pandai-pandai saja kita dalam menjaga imunitas tubuh dan menerapkan protokol
kesehatan.
Selain
itu, saya pikir siswa-siswi di sekolah akan lebih tertib dalam menjalankan
protokol kesehatan. Hal ini dikarenakan mereka adalah kaum terpelajar. Tentunya
mereka akan bisa lebih tertib daripada orang-orang di mall, supermarket, pasar,
dan tempat umum lainnya yang sudah dibuka sejak beberapa bulan yang lalu.
Komentar
Posting Komentar