RKUHP, Pemerintah Anti Kritik?
Oleh: Grace Johana
Aulia S.
Setelah hampir tiga tahun tertahan, pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan kembali membahas revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Akhir Mei kemarin, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama Komisi III DPR
RI telah menggelar Rapat
Dengar Pendapat (RDP) mengenai revisi
UU ini. Dalam draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
diatur soal penghinaan terhadap kesatuan umum dan lembaga negara. Aturan itu termaktub
dalam Pasal 351.
Kekuasaan umum atau lembaga negara yang
dimaksud dalam pasal ini antara lain Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri),
Kejaksaan Republik Indonesia, dan Pemerintah
Daerah (Pemda). "Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan
menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi Pasal 351 ayat (1)
draf RKUHP tanggal 4 Juli 2022. Apabila
penghinaan tersebut mengakibatkan
kerusuhan dalam masyarakat, maka hukuman bertambah jadi paling lama 3 tahun
atau pidana denda paling banyak kategori III.
Terdapat beberapa pasal yang menuai
banyak penolakan, misalnya
terkait penghinaan terhadap pemerintah.
Tindak penghinaan terhadap pemerintah tersebut diatur
dalam Pasal 240 dan 241 draf RKUHP versi 2019. Pasal itu menyebutkan bahwa
perbuatan menghina pemerintah dapat dikenai hukuman penjara maksimal 3 tahun,
bahkan 4 tahun jika perbuatan tersebut dilakukan melalui teknologi informasi atau media massa. "Setiap orang yang di
muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat
terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian
Pasal 240 draf RKUHP. Kemudian, dijelaskan pada Pasal 241 bahwa, "Setiap
orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar
sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh
umum, atau menyebar luaskan
dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah
yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat
terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V". Pasal ini berpotensi
mengkriminalisasi orang yang mengkritik pemerintah. Demokrasi tidak akan tumbuh
dan tidak akan berjalan, karena
nantinya masyarakat, media
dan siapapun dari rakyat Indonesia akan takut untuk mengkritik pemerintah, untuk menyuarakan
pendapatnya.
Akan tetapi, dalam menyampaikan pesan dan
pikirannya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, masih ada saja orang-orang
yang lalai menggunakan bahasa yang tepat untuk menyampaikan pesan dan
pikirannya, serta lupa
akan perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Akibatnya
mereka dituduh telah melakukan tindak pidana penghinaan. Oleh sebab itu pentingnya
memberi kritik yang membangun, sehingga peletakan kritik dapat tepat sasaran. Saat ini masih
banyak kita jumpai kritik yang sifatnya lebih ke arah hate comment yang
sama sekali tidak bersifat membangun, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi
yang dikritik
maupun yang mengkritisi.
Untuk menghindari hal itu,
perlunya membangun pola pikir yang kritis dan positif di kalangan masyarakat
menjadi hal yang sangat penting. Tujuannya agar berjalannya demokrasi juga bisa diterima bagi semua
kalangan. Selain itu, bentuk penyampaian pendapat maupun kritik dapat tepat sasaran
dan dalam batas wajarnya.
Komentar
Posting Komentar