Langsung ke konten utama

OPINI: RKUHP, PEMERINTAH ANTI KRITIK?

RKUHP, Pemerintah Anti Kritik?

Oleh: Grace Johana Aulia S.

(Sumber: Mohamed Elamine Msiouri-Pexels.com)

Setelah hampir tiga tahun tertahan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan kembali membahas revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Akhir Mei kemarin, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama Komisi III DPR RI telah menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) mengenai revisi UU ini. Dalam draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) diatur soal penghinaan terhadap kesatuan umum dan lembaga negara. Aturan itu termaktub dalam Pasal 351.

Kekuasaan umum atau lembaga negara yang dimaksud dalam pasal ini antara lain Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Republik Indonesia, dan Pemerintah Daerah (Pemda). "Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi Pasal 351 ayat (1) draf RKUHP tanggal 4 Juli 2022. Apabila penghinaan tersebut mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, maka hukuman bertambah jadi paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Terdapat beberapa pasal yang menuai banyak penolakan, misalnya terkait penghinaan terhadap pemerintah. Tindak penghinaan terhadap pemerintah tersebut diatur dalam Pasal 240 dan 241 draf RKUHP versi 2019. Pasal itu menyebutkan bahwa perbuatan menghina pemerintah dapat dikenai hukuman penjara maksimal 3 tahun, bahkan 4 tahun jika perbuatan tersebut dilakukan melalui teknologi informasi atau media massa. "Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian Pasal 240 draf RKUHP. Kemudian, dijelaskan pada Pasal 241 bahwa, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebar luaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V". Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi orang yang mengkritik pemerintah. Demokrasi tidak akan tumbuh dan tidak akan berjalan, karena nantinya masyarakat, media dan siapapun dari rakyat Indonesia akan takut untuk mengkritik pemerintah, untuk menyuarakan pendapatnya.

Akan tetapi, dalam menyampaikan pesan dan pikirannya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, masih ada saja orang-orang yang lalai menggunakan bahasa yang tepat untuk menyampaikan pesan dan pikirannya, serta lupa akan perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akibatnya mereka dituduh telah melakukan tindak pidana penghinaan. Oleh sebab itu pentingnya memberi kritik yang membangun, sehingga peletakan kritik dapat tepat sasaran. Saat ini masih banyak kita jumpai kritik yang sifatnya lebih ke arah hate comment yang sama sekali tidak bersifat membangun, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi yang dikritik maupun yang mengkritisi.

Untuk menghindari hal itu, perlunya membangun pola pikir yang kritis dan positif di kalangan masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Tujuannya agar berjalannya demokrasi juga bisa diterima bagi semua kalangan. Selain itu, bentuk penyampaian pendapat maupun kritik dapat tepat sasaran dan dalam batas wajarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERPEN JEJAK DI UJUNG SENJA - YAHYA AHMAD KURNIAWAN

  Jejak di Ujung Senja  karya: Yahya Ahmad Kurniawan Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh pegunungan hijau, hiduplah seorang pemuda bernama Arif. Setiap sore, saat matahari mulai merunduk di balik bukit, Arif selalu berjalan ke tepi danau yang tenang. Danau itu adalah tempat favoritnya, tempat di mana ia bisa merenung dan melupakan segala beban hidup.  Suatu hari, saat Arif duduk di tepi danau, ia melihat seorang gadis asing yang sedang menggambar. Rambutnya panjang dan berkilau seperti sinar matahari, dan senyumnya mampu menghangatkan hati siapa pun yang melihatnya. Arif merasa tertarik dan mendekatinya.  “Nama saya Arif,” katanya dengan suara pelan.  Gadis itu menoleh dan tersenyum. “Saya Lila. Saya baru pindah ke desa ini.”  Mereka pun mulai berbincang. Lila bercerita tentang kota asalnya yang ramai, sementara Arif menceritakan keindahan desa danau yang mereka tempati. Sejak saat itu, mereka menjadi teman akrab. Setiap sore, mereka bertemu di tepi ...

RESENSI BUKU: MAAF TUHAN AKU HAMPIR MENYERAH

MAAF TUHAN AKU HAMPIR MENYERAH (Sumber: goodreads.com) Malang, LPM AQUA -Jumat (08/04/2022) Buku dengan judul “Maaf Tuhan Aku Hampir Menyerah” merupakan karya Alfialghazi yang sukses menarik pembaca dalam tulisannya. Buku ini mengajarkan mengenai lika-liku kehidupan dengan surga sebagai akhir. Buku ini memberikan inspirasi serta motivasi bagi mereka yang terpuruk dan mendorong seseorang untuk bangkit kembali. Tidak semua hal dalam kehidupan berjalan seperti yang kita inginkan. Ada saatnya harapan yang kita impikan serta langkah yang telah kita tuai dihentikan secara paksa. Rasa putus asa yang muncul dalam menjalani kehidupan hingga muncul keinginan untuk menyerah. Dalam buku ini dijabarkan bahwa setiap orang memiliki masalah serta kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang berbeda-beda. Selain itu, buku “Maaf Tuhan Aku Hampir Menyerah” mengajarkan untuk beristirahat ketika lelah terhadap hiruk pikuk kehidupan, semangat untuk jangan menyerah, serta semangat untuk bangkit demi menc...

ESAI: The Significance of Identity Formation in Early Childhood Education

  The Significance of Identity Formation in Early Childhood Education By: Mutahassin Bilhaq mentatdgt_pexels.com Malang, LPM AQUA -Wednesday (29/12/2021) Since March 2020, Indonesia has been experiencing a Covid-19 pandemic. This condition undoubtedly has a significant impact on several sectors, including education. Regulations imposed by the government, such as the wearing of masks, the keeping of a safe distance, the prohibition of gathering, and so on, have caused many agencies, including educational institutions, to implement a variety of new policies in the conduct of their activities. At the start of the pandemic, the government instructed people to study for 14 days online from home, and it turned out that this instruction was extended into the following year. When we arrive in November 2021, the world has changed dramatically. Many schools and universities throughout this country have and will continue to have limited face-to-face teaching and learning processes with stri...