Kondisi Psikis Individu dan Pengaruhnya Terhadap Tindakan Kekerasan Seksual
Malang,
LPM Aqua-Senin
(20/09), tim redaksi dari LPM Aqua melakukan kegiatan wawancara mengenai kasus
yang sedang marak terjadi, yaitu kasus kekerasan dan juga pelecehan seksual. Kasus ini tidak hanya pada lingkup umum masyarakat, namun juga dalam lingkup perguruan
tinggi juga marak terjadi. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat
untuk menimba ilmu, dan para civitas akademika yang seharusnya memberikan rasa
aman dan nyaman bagi para mahasiswa, justru civitas akademika yang melakukan
hal yang tidak seharusnya terjadi. Pada lingkungan umum, kasus pelecehan
seksual dan kekerasan seksual ini sudah banyak terjadi, tidak hanya memakan
korban yang berusia dewasa, namun juga anak kecil yang tidak tau apa-apa juga
menjadi korban. Tidakkah seharusnya orang dewasa memberikan perlindungan? Apakah
hal itu pantas? Dimana hati nurani itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
kami melangsungkan wawancara langsung dengan dosen psikologi Universitas
Brawijaya, yaitu ibu Ika Herani.
Berikut
ulasannya:
Kasus kekerasan seksual sepertinya sudah tidak asing lagi
terdengar di Indonesia. Universitas Brawijaya (UB) membuka Unit Layanan Terpadu
Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP) di 14 fakultas, tujuannya untuk
melayani mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual dan atau perundungan. Wakil
Rektor Bidang Kemahasiswaan Prof. Dr. Abdul Hakim , M.Si. mengatakan layanan
yang dilakukan meliputi pelayanan awal dan pelayanan lanjutan. “Saat ini sudah
beroperasi, dan beberapa diantaranya bahkan sudah menerima kasus,” kata Hakim.
Sebanyak 14 Fakultas yang mempunyai ULTKSP masing-masing
FTP, FH, FIA, FT, FISIP, Fapet, FKG, FIB, FP, MIPA, Filkom, Vokasi, PSDKU
Kediri, dan FK. Staff Ahli WR III Arif Zainudin, S.H., M.Hum menambahkan jika
nantinya korban ingin meneruskan kasus hingga ke ranah hukum maka pelayanan
akan diserahkan sepenuhnya ke pihak kepolisian.
Secara dasar, di dalam kekerasan seksual terdapat pelecehan seksual,
jadi pelecehan seksual adalah bagian dari kekerasan sesual. kekerasan seksual
sendiri ada banyak, lebih kurang 15 bentuknya. Bentuk kekerasan seksual
tersebut meliputi percobaan pemerkosaan, pemerkosaan, pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, human traficking, prostitusi paksa, perbudakan seksual,
pemaksaan perkawinan, perceraian gantung, pemaksaan kehamilan dan aborsi,
pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan sekual,
menghukung sso dengan nuansa seksual,
praktik tradisi yang mendiskriminasikan perempuan dan bernuansa seksual,
kontrol seksual beralasan moralitas atau agama yang diskriminatif.
Beberapa faktor yang paling mendasari oleh aktor yang
menyebabkan mereka menjadi pelaku ada
beberapa hal, diantaranya adalah karena faktor lingkungan, apa yang mereka
lihat, apa yang mereka rasakan (mungkin mereka juga pernah jadi korban
kekerasan juga) atau mereka juga meniru dari apa yang mereka tahu. Saat ini
informasi yang mudah diperoleh dan paparan media juga jadi salah satu penyebab,
dan korbannya bukan hanya perempuan tapi juga laki-laki. Perubahan budaya,
perubahan pola perilaku dan mudahnya mengakses konten pornografi juga bisa jadi
pencetus untuk perilaku kekerasan seksual ini muncul. Salah satu ancaman
terbesarnya bisa berasal dari lingkungan, dari dalam diri juga bisa menjadi
pemicu, antara lain adalah karakter mereka, misal agresif ini juga bisa memicu.
Jadi ada faktor internal dan eksternal. Perilaku agresif disini adalah perilaku
yang bermaksud menyakiti orang lain. misal dia ingin menyakiti secara fisik
atau verbal kepada orang lain atau yang biasa kita sebut bullying.
Ibu Ika menjelaskan bahwa aksi kekerasan seksual tidak
sepenuhnya kesalahan dari pelaku. Pelaku jelas salah dengan alasan apapun, tapi bisa juga
"pemicunya" adalah korban sendiri, meski maksudnya tidak demikian.
Intinya sebenarnya jika kontrol diri baik pada korban dan pelaku ada maka
kekerasan seksual akan dapat dikurangin. Saat ini sudah bergeser tentang norma dan perilaku yang baik seperti
apa, jadi ini juga
memicu timbulnya kekeran seksual. Artinya kontrol ini seperti kalau korban
malah terang-terangan menantang pelaku,
atau mengumbar aurot misalnya, sehingga membuat ia rentan mendapatkan pelecehan
seksual atau perilaku kekerasan lainnya. Kalau pelaku jelas jika dia gak bisa
kontrol diri maka dia akan melakukan hal ini juga.
Tanggapan Bu Ika mengenai kasus yang terjadi pada jauh hari
tentang kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak usia di bawah umur, yang
pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah orang terdekat sendiri, yaitu ayah
kandungnya sendiri. Bu Ika memberikan tanggapan bahwa, kebanyakan pelaku
kekerasan seksual akan melakukan tindakan pada orang terdekat atau yang sudah
dikenalnya, seperti yang disampaikan itu tadi. Sebenarnya kasus ini juga pernah
Ibu Ika tangani dulu. Mungkin mirip ya,
dimana saat ibu tidak bisa memberikan nafkah batin ke suami sehingga suami
melakukan tindakan pemerkosaan kepada anak. Solusinya harus dipisahkan dari ayah, kemudian
anak ini harus mengikuti serangkaian terapi baik dari psikiater dan psikolog. Dari kasus seperti ini, yang ditakutkan
adalah dampak dikemudian hari kepada anak/korban. Dari kasus yang pernah ada, hal ini
memicu ketidakpercayaan anak terhadap lawan jenis dan merasa harga dirinya
rendah, sehingga timbul keinginan untuk bunuh diri, atau preferensi seksualnya
berbeda. Kalau untuk ayah korban, jelasnya harus mendapatkan hukuman, karena dia sengaja
melakukan hal itu.
Namun,
ayah korban juga masih bisa mendapatkan terapi psikis tapi harus sesuai dengan aturan hukum. Jadi
proses hukum tetap berjalan dan proses terapi bisa asalkan ada permintaan, karena biasanya
yang jadi utama adalah korban dulu yang harus diterapi
Tindakan kekerasan seksual dan juga pelecehan seksual
sangat berdampak besar terhadap depresi korban. Kalau yang mengalami ini akan
memberikan dampak depresi, gangguan kecemasan, ptsd, gangguann kepribadian, penyalahgunaan alkohol dan
obat-obatan terlarang dan jadi bermasalah ketika harus menjalin relasi dengan
orang lain. Bahkan bisa ada keinginan untuk bunuh diri, kalau tidak diatasi, korban bisa jadi melakukan
aksi bunuh diri.
Pola asuh memang juga cukup memiliki pengaruh pada
perilaku kekerasan seksual, yang baik adalah mulai memberikan sex education
kepada anak, baik perempuan dan laki-laki. apa yang boleh dan apa yang tidak,
mulai mengenali diri sendiri kemudian harus bagaimana kepada lawan jenis.
Pendidikan seks ini disesuaikan dengan tingkatan umurnya. Sebaiknya anak
menerima informasi tentang seks dari
keluarga, daripada mereka
mencari sendiri secara online atau dari melihat dan berdiskusi dengan teman atau orang
lain. Hanya saja
tindakan sex education ini masih dikatakan tabu oleh masyarakat, tinggal cara
menyampaikannya kepada anak yang harus disesuaikan. Untuk alternatif apabila
dari keluarga sendiri tidak memiliki keinginan untuk memberikan sex
education kepada anaknya, solusinya boleh diikutkan ke seminar atau webinar
tentang sex education agar lebih fair.
Tindakan preventif yang bisa dilakukan yaitu bisa lebih
aware terhadap lingkungan, terutama jika kita di ranah publik atau umum, atau pake
kendaraan umum, kalau bisa kita punya bekal yang cukup termasuk pengetahuan
terkait kekerasan seksual, ada juga yang membekali diri dengan ragam cara
proteksi diri (beladiri dasar) atau belajar proteksi diri secara mandiri.
Kadang kalau tidak
cukup
pengetahuan kita menganggap itu hal yang biasa dan malu mau minta tolong atau
cerita ke orang lain. Jika kita mengalami hal itu sebaiknya jangan langsung
menutup diri, cerita pada orang yang tepat, lapor, konseling dan konsultasi
kepada pihak yang berwenang jika ini terjadi.
Ibu Ika juga menyatakan bahwa, speak up di media
sosial tidak memberikan solusi yang bijak, karena solusi kadang kala salah
sasaran, ada baiknya ke layanan yang ada, atau datang kepada orang yang bisa
mendukung kondisi yang dialami korban. Kalau via media sosial kadangkala malah
menjerumuskan diri pada situasi yang negatif, malah malu dan viral, dan tidak mendapat solusi apapun. Kalau lapor
di layanan biasanya akan dianonimkan
dan dijaga kerahasiannya atau mau lapor ke polisi juga ada divisi khusus
terkait ini. Bahkan terkadang malah dibully, dianggap dia juga membuat kekerasan itu terjadi atau
kadang malah dicap kalau dia ingin menaikkan pamornya sendiri lewat kasus itu.
Belajar untuk waspada, pahami apa kekerasan seksual dan jika mengalami tidak perlu menarik
diri, segera cari pertolongan terdekat atau lapor di unit pelayanan kekeran seksual
dan lakukan konseling.
Komentar
Posting Komentar