Langsung ke konten utama

OPINI: TOXIC SOLIDARITY SECARA PRINSIP DAN PRAKTIKAL

TOXIC SOLIDARITY SECARA PRINSIP DAN PRAKTIKAL

Oleh: Grace Johanna

(Sumber: Andrea Piacquado-pexels.com)

Seperti Dalam ospek mungkin kita pernah merasakan sistem dimana kita dilatih untuk menjadi solid. Sistem ini mengharuskan kita menanggung kesalahan orang lain secara bersama-sama. Cara ini, terdengar sangat bagus dan membuat suatu komunitas atau organisasi menjadi sangat solid dengan prinsip sepenanggungan seperjuangan. Namun, jika dilihat dari sudut lain hal ini akan menjadi buruk.

SECARA PRINSIP

Secara prinsip, setiap orang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dia perbuat. Dan secara prinsip pula orang lain tidak serta merta bertanggung jawab atas apapun yang dibuat oleh orang lain pula, selain orang yang secara hukum atau moral terikat dengan dirinya. Contoh keterikatan ini adalah perusahaan dengan karyawan atau orang tua dengan anak. Dalam agama, setiap orang juga menanggung setiap perbuatan dosa yang mereka buat secara masing-masing.

MENGAPA PRINSIP INI BENAR?

Prinsip ini, mengembalikan semua tanggung jawab kepada setiap individu itu sendiri. Hal ini berarti tidak akan ada orang yang dirugikan atas orang lain yang tidak ada hubungan dengan dirinya secara konsen. Konsep ini menjadi benar karena adanya beban moral dan pertanggungjawaban hanya bisa dibebankan kepada orang yang bersangkutan. Jika beban moral dibagi kepada lebih banyak orang, maka setiap orang berkemungkinan besar menjadi tidak bertanggung jawab atas apa yang ia buat.

SECARA PRAKTIKAL

Dengan beban kesalahan ditanggung setiap individu, maka konsekuensinya akan ditanggung secara pribadi. Hal ini memungkinkan rasa tanggung jawab yang lebih besar. Hal ini muncul karena setiap konsekuensi membuat efek jera yang lebih besar daripada jika ditanggung kolektif. Secara praktikal toxic solidarity mengganggu perkembangan orang lain. Beberapa orang merasa sia-sia atas usaha yang ia buat. Pikiran untuk menyepelekan menjadi semakin besar karena orang yang sudah benar menjadi tidak puas atas usahanya. Lihat, meski sudah benar ia tetap harus menanggung kesalahan orang lain. Jika melihat alasan mengapa seseorang berusaha menjadi benar, jawabannya adalah reward. Dan dalam toxic solidarity, orang-orang hanya akan fokus pada kesalahan dan sangat minim apresiasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku: The 5 Levels of Leadership

  gambar: media.oiipdf.com Oleh : Mutahassin Bilhaq   Identitas Buku Judul               : The 5 Levels of Leadership Penulis            : John C. Maxwell Penerbit          : Center Street Tahun Terbit   : 2011 Halaman         : 452 halaman Kategori          : Leadership Bahasa             : Inggris Harga              : $17.66 Ringkasan "Leadership is one of my passions. So is teaching it. I’ve dedicate more than thirty years of my life to helping others learn what I know about leading. In fact, I spend about eight days every year teaching l...

HARIAN AQUA (Vol. 33): HARGA BBM NAIK, APA KATA MAHASISWA?

Harga BBM Naik, Apa Kata Mahasiswa? (Sumber: garta.com) Malang, LPM AQUA -Selasa (12/09/2022), BBM atau singkatan dari bahan bakar minyak merupakan jenis bahan bakar yang dihasilkan dari suatu pengilangan ( refining) minyak mentah ( crude oil ). Minyak mentah yang berasal dari perut bumi ini diolah dalam pengilangan dahulu untuk menghasilkan suatu produk-produk minyak yang termasuk di dalamnya yaitu BBM. Pemerintah pada S abtu, 3 September 2022, resm i menaikkan harga BBM atau menghapus subsidi BBM. Berbagai tanggapan menanggapi kenaikan dari harga BBM tidak menyurutkan langkah pemerintah. Harga Solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter. Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter. Sedangkan pertamax yang non-subsidi naik di harga Rp 14.500 dari sebelumnya Rp 12.500 per liter.      (Sumber: pertamina.com) Berbagai respon pun tertuai terutama dari kalangan mahasiswa. Para mahasiswa memberikan beragam tanggapan mengenai kenaikan BBM yang terjadi d...

CERPEN JEJAK DI UJUNG SENJA - YAHYA AHMAD KURNIAWAN

  Jejak di Ujung Senja  karya: Yahya Ahmad Kurniawan Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh pegunungan hijau, hiduplah seorang pemuda bernama Arif. Setiap sore, saat matahari mulai merunduk di balik bukit, Arif selalu berjalan ke tepi danau yang tenang. Danau itu adalah tempat favoritnya, tempat di mana ia bisa merenung dan melupakan segala beban hidup.  Suatu hari, saat Arif duduk di tepi danau, ia melihat seorang gadis asing yang sedang menggambar. Rambutnya panjang dan berkilau seperti sinar matahari, dan senyumnya mampu menghangatkan hati siapa pun yang melihatnya. Arif merasa tertarik dan mendekatinya.  “Nama saya Arif,” katanya dengan suara pelan.  Gadis itu menoleh dan tersenyum. “Saya Lila. Saya baru pindah ke desa ini.”  Mereka pun mulai berbincang. Lila bercerita tentang kota asalnya yang ramai, sementara Arif menceritakan keindahan desa danau yang mereka tempati. Sejak saat itu, mereka menjadi teman akrab. Setiap sore, mereka bertemu di tepi ...