Kebebasan Bukan Berarti Tidak Patuh
Oleh: Titis Dwi Andhani
Tepat
tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Pers Sedunia atau World Press Freedom
Day. Penetapan Hari Kebebasan Pers Sedunia ini ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran mengenai pentingnya kebebasan pers dan mengingatkan pemerintah untuk
menghormati dan menjunjung
tinggi hak atas kebebasan berekspresi. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia 1948, “Setiap
orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini
termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan
dengan tidak memandang batas-batas (wilayah)”. Dalam rangka memperingati Hari
Kebebasan Pers Sedunia, tahun ini UNESCO mengusung tema “Jurnalisme di Bawah
Kepungan Digital”. Tema ini diusung dengan menyoroti berbagai permasalahan pers
yang terjadi, pengancaman terhadap jurnalis dan pemberitaan yang diterbitkan.
Serangan yang dimediasi secara digital terhadap jurnalis serta konsekuensi dari
serangan yang muncul pada kepercayaan publik terhadap komunikasi digital juga
menjadi faktor atas pengangkatan tema Hari Kebebasan Pers Sedunia pada tahun
ini.
Ancaman
demi ancaman dari pihak tertentu, dirasa menjadi satu fakta atas aktualnya
pemberitaan yang diterbitkan. Kebebasan bersuara nyatanya tidak bebas. Terbukti
beberapa kawan-kawan pers mahasiswa yang menerbitkan berita seputar kampus
mereka justru imbasnya adanya pengancaman. Apakah memang begitu arti kebebasan
bersuara?
Terkadang
ada saja oknum yang sengaja mengadu domba dan berperan sebagai benang merah
dalam satu masalah. Sebenarnya bukan masalah, karena masalah itu terjadi jika
ada pihak yang sengaja mempermasalahkan dan
ada saja yang percaya terhadap omong kosong dari pengadu domba tanpa mencari
faktanya terlebih dahulu. Inilah yang terkadang menyebabkan pers dianggap
sebagai pembawa kericuhan.
Anggota
pers mempunyai kode etik jurnalistik yang digunakan sebagai pedoman dalam
setiap langkah perjalanan pers. Apabila pedoman itu tidak diterapkan, maka
terjadi kelemahan dan kegagalan pers dalam mewartakan berita. Apabila prinsip jurnalisme dan
etika dipegang oleh setiap anggota pers, maka kebebasan pers akan berjalan
tanpa adanya lagi pencederaan atau pengancaman terhadap jurnalis.
Meskipun
pers berperan sebagai media berekspresi dan wadah untuk bersuara, namun jangan
sampai narasi yang diberitakan justru melenceng dari fakta. Beberapa berita
terkadang hiperbola dalam menulis judul berita, yang mana isi beritanya
terkadang tidak nyambung dengan judul yang diangkat. Kebiasan penulisan yang
sembrono inilah yang menjadi satu faktor mengapa pers selalu dianggap kebablasan dalam menerbitkan
berita.
Kebebasan
pers tidak dapat didefinisikan bebas tanpa memperhatikan akibat. Peran pers
sebagai jembatan penyelesaian konflik dan pemberitaan konflik, tanpa
melebih-lebihkan apa yang ada di dalamnya. Kebebasan pers harus dijaga, sebagai
sarana dalam mendialogkan konflik yang terjadi, agar segenap bangsa, masyarakat,
dapat terlibat dialog dalam upaya mencari solusi konflik. Melalui pers yang
bebas akan mencegah agar urusan bangsa tidak dimonopoli oleh sekelompok orang,
kelompok, atau elite kekuasaan. Pers yang menggunakan kebebasan secara
berlebihan justru akan mengancam dirinya sendiri. Pers yang terlalu bebas akan
menjadi pemicu anarki.
Komentar
Posting Komentar