Konservasi Mangrove sebagai
Upaya Pengoptimalan Ekosistem Blue Carbon
Melihat
krisis iklim yang sangat mengkhawatirkan ini, para peneliti ahli menemukan
terobosan baru untuk mengurangi karbon dan juga efek rumah kaca. Salah satu
bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan memanfaatkan ekosistem biru, yakni
mangrove, terumbu karang, lamun, dan rumput laut. Indonesia sebagai negara
maritime yang notabene mempunyai luas perairan lebih luas dari daratan, sudah
sepatutmya untuk memaksimalkan penuh potensi di bidang maritim.
Mengutip
dari penjelasan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyampaikan bahwa
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja,
menyampaikan dalam sambutannya bahwa Indonesia memiliki basis sumber daya alam
dan potensi karbon biru yang sangat kaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. Hal ini didukung oleh fakta bahwa wilayah Indonesia meliputi lebih dari
60 dari total wilayah Coral Triangle dunia, yang terutama didominasi oleh
bagian timur Indonesia. Pemerintah saat ini sudah melakukan rehabilitasi
mangrove sebagai salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Direktur
Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, Novrizal Tahar, menyampaikan bahwa sampah
merupakan salah satu ‘predator’ bagi ekosistem pesisir di Indonesia. Timbulan
sampah di lautan berasal dari kebocoran sampah dari daratan ke perairan serta
aktivitas di lautan. Saat ini, Indonesia sedang mengimplementasikan Peraturan
Presiden Nomor 83 tahun 2018 tentang penanganan sampah laut, bahwa Indonesia
akan menurunkan sampah laut sebesar 70% pada tahun 2025. Rencana aksi yang
dilakukan meliputi lima kelompok kerja yang terintegrasi dengan berbagai
lembaga.
“Hingga tahun 2020, dapat kita pastikan terjadi penurunan sampah laut sebesar
15,30%, sehingga ini menunjukkan adanya upaya dan masifnya gerakan untuk
memastikan sumberdaya karbon biru terjaga dengan baik. Potensi untuk menjadi
negara super power dengan tiga hamparan mangrove, lamun, dan terumbu karang
akan sia-sia jika kita tidak menangani persoalan sampah laut,” ujar Novrizal.
Berikut
ini merupakan hasil wawancara yang telah dilaksanakan:
Blue
carbon merupakan karbon yang disimpan oleh ekosistem yang berada di pesisir,
terdiri dari mangrove, lamun, dan Salt Marshes. Namun ekosistem Salt Marshes
belum ada di Indonesia. Terdapat solusi lain seperti Algae, namun Algae belum
ada di skema blue carbon dikarenakan belum ada riset mendalam tentang
keberlanjutan dari potensi Algae dalam penyerapan karbon. Untuk di Indonesia,
potensi besar untuk penyerapan karbon terdapat di mangrove, karena mengingat
lahan mangrove yang luas di Indonesia. Luas mangrove di Indonesia sekitar 3,21
juta ha yang juga mempunyai tegakan besar, mempunyai potensi besar untuk menyerap
karbon dan menyimpannya sebagai ekosistem karbon biru.
Sistematika
penyerapan karbon oleh mangrove ini sebenarnya sama dengan fisiologi tumbuhan
darat pada umumnya. Salah satu pemicu pemanasan global yaitu CO2. Tanaman
secara umum memang mampu menyerap CO2 melalui proses fotosintesis. Adanya
klorofil dan melalui skema fotosintesis, karbon akan diubah menjadi biomassa
yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup. Secara umum, mangrove
merupakan jenis tumbuhan semi tertutup. Siklus karbon pada mangrove yaitu
mangrove akan melepaskan karbon dalam bentuk biomassa/serasah, untuk proses
adaptasi. Ketika daun mangrove berguguran, sebagian akan tersimpan pada sistem
perakaran yang kuat dan langsung dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup.
Mangrove berpotensi besar untuk menyimpan karbon pada sedimen. Dibandingkan
hutan darat, mangrove bisa 5x lebih besar untuk penyimpanan karbon
1.
Seberapa
penting keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan blue carbon?
Jawaban:
Pasar
karbon di Indonesia belum ada regulasi yang tepat untuk mengemisikan gas rumah
kaca. Semakin luas mangrove, semakin juga serapannya. Indonesia mempunyai
luasan mangrove yang besar, sehingga lebih berpotensi untuk menyerap
karbondioksida di atmosfer, dibandingkan dengan mangrove di negara lain.
2.
Dalam
konservasi ada istilah jejaring kawasan konservasi yang dimana hal itu berarti
menghubungkan kawasan konservasi satu dengan lainnya. Tetapi di Indonesia
sendiri terdapat jarak antara kawasan konservasi satu dengan lainnya,
sebenarnya seberapa penting adanya jejaring kawasan konservasi ini dan jika
memang penting bagaimana cara mengupayakannya?
Jawaban:
Jejaring
kawasan konservasi itu biasanya terdapat baground story pendirian jejaring.
Misalnya di kawasan Taman Nasional Celuk Cendrawasih, mereka dimanfaatkan untuk
jenis mamalia laut, sebagai kawasan untuk melindungi habitatnya. Kawasan
konservasi juga digunakan untuk melindungi biota yang bermigrasi (burung, ikan,
dll). Misalnya, ikan dari Bali, bermigrasi ke Makasar, lalu bermigrasi lagi ke Palu,
sehingga dalam 3 kawasan tersebut harus memiliki kawasan konservasi yang saling
memiliki fungsi yang sama untuk melindungi habitat. Oleh karena itu, diperlukan
riset mendalam untuk mengetahui kawasan jejaring konservasi. Misalnya juga
terdapat di Bintan, yang mempunyai kawasan konservasi yang memounyai habitat
untuk melindungi dugong. Konservasi satwa bisa digunakan untuk melindungi
habitat, dan harus dibentuk dalam ekosistem yang berantai.
Mangrove
secara ekologi sebagai habitat untuk biota laut dan mempunyai kompleksitas
satwa yang paling banyak. Mangrove penyedia sumber pangan/produsen utama
terbesar di pesisir. Ketika produsen utama menghilang, maka rantai tropic level
akan terganggu dan semakin berkurang.
3.
Besarnya
Potensi karbon biru dari pesisir Indonesia, apakah sudah ada Roadmap mengenai Blue Carbon?
Jawaban:
Kebijakan
Indonesia, sudah Menyusun dokumen NDC yang menunjukkan seberapa besar
kontribusi Indonesia untuk menurunkan emisi CO2, yang terkait dengan global
warming. Dalam kebijakannya, Indonesia sudah mendiklair menurunkan sekitar 26%
tanpa bantuan siapapun dari berbagai sector. Tapi, ketika terdapat interfensi
yang tadi, Indonesia mampu menurunkan sekitar 41% hingga tahun 2030. Dari
target tersebut, pemerintah akan menurunkan di lima sector, yaitu energi yang
akan mengarah ke penggunaan energi terbarukan, kehutanan (mangrove akan masuk
ke sector kehutanan, padang lamun akan masuk ke sektor kelautan). Biasanya
perhitunganya yaitu hasil simpanan dikalikan dengan satu persamaan konversi,
itu menjadi hasil serapan emisi yang berkurang dari setiap ekosistem. Kemudian
juga sector pertanian, seperti penggunaan biogas, pengairan yang lebih hemat
air, kemudian limbah dan industry. Kelima sector tersebut akan dikurangi untuk
mencapai angka 29 dan 41%, dari segi kebijakan. Indonesia juga sudah
merencanakan pembangunan rendah karbon, yang ingin melihat berapa capaian
penurunan emisi. Pembangunan yang digunakan dipastikan rendah karbon dalam
berbagai sector. Kemudian dari segi riset, terkait blue carbon dari sisi
mangrove, itu sudah banyak riset. Pak wayan sudah mengerjakan riset dari tahun
2016-2018 mengenai blue carbon, dan hasilnya yaitu bisa memetakan potensi
serapan karbon dan potensi simpanan kabon di Indonesia. Jadi membuat seperti
polusi paper jadi seperti saran pembuat kebijakan. Misalnya sudah memetakan
mangrove di Indonesia mempunyai potensi sekitar 3 tera ton karbon, yang
disimpan, kemudian yang diserap sekitar hampir 200 mega ton CO2/ tahun.
Proyeksi serapan karbon lebih tinggi dibandingkan serapan karbon global, jadi
Indonesia bisa lebih cepat dibandingkan global. Untuk sekarang yang dibutuhkan
dari sector lamun, dan perlu banyak riset khususnya luasan lamun, kemudian
potensi simpanan.
4.
Hal
apa yang menjadi tantangan (hambatan) terkait konservasi mangrove untuk
pengoptimalkan ekosistem karbon biru?
Jawaban:
Alih
guna lahan menjadi permasalahan yang sedang dihadapi mangrove,karena terjadi
penurunan luasan. Dalam decade ini, mangrove sudah mengalami penurunan lahan
yang cukup banyak. Penurunan tersebut, Sebagian besar disebabkan oleh budidaya,
seperti perubahan lahan mangrove menjadi tambak, yang bahkan sudah terjadi
sekitar 20 tahun yang lalu. Mereka tidak sadar bahwa, hanya 30% akuakultur yang
benar-benar produktif, sisanya 70% yang sudah dikonversi juga tidak produktif.
Waktu itu terdapat kasus di Bali pada tahun 80-an, mangrove di Bali itu di
Teluk Benoa, dulu massif digunakan untuk area pertambakan, karena berfikir
tambak lebih menguntungkan dibandingkan dengan mangrove. Namun, ternyata salah,
tambaknya tidak menghasilkan banyak dan karena mangrovenya sudah dikonversi
jadinya ikannya sedikit. Akhirnya, di tahun 90-an, area pertambakan akhirnya
dibangun kembali untuk ekosistem mangrove. Sekarang terdapat konversi mangrove
untuk perkebunan kelapa sawit. Sehingga mangrove mempunyai dua permasalahan
utama, yakni akuakultur dan penanaman kelapa sawit. Kalau penebangan lliar,
jika masih ada habitatnya, mangrove akan tumbuh lagi. Terdapat pula tumpahan
minyak di laut, yang juga menyebabkan kematian mangrove yang masif.
5.
Apakah
dampak dari kerusakan ekosistem biru terhadap blue carbon, termasuk didalamnya
terdapat ekosistem mangrove?
Jawaban:
Kehilangan
ekosistem mangrove, maka tidak bisa menikmati jasa ekosistem mangrove.
Misalnya, pulau-pulau kecil, saat mangrovenya hilang makan intrusi air laut akan semakin banyak. Interusi itu
merupakan air laut/air asin akan masuk ke sumur air tawar masyarakat. Jadi
ketika mangrove dirusak, maka air sumur akan berubah menjadi air tawar atau air
payau. Air merupakan sumber komponen dalam hidup, jadi ketika kehilangan air
bersih, pulau-pulau kecil akan kesulitan mencari air bersih. Kemudian, secara
ekonomi seperti di Papua, mereka menjadikan mangrove untuk mencari biota
ekonomis, misalnya kepiting. Disitu, kepiting menjadi komoditas utama. Jadi
ketika mangrove itu hilang, maka ekonomi masyarakat akan terguncang. Secara
global, ketika kehilangan mangrove potensi serapan blue carbon juga akan
berkurang.
6.
Seberapa
besar keterkaitan kesehatan mangrove dengan potensi penyerapan karbon biru?
Jawab:
Sedimen
merupan tempat penyimpanan karbon yang diserap oleh mangrove. Jadi, sedimen
tidak bisa menyerap karbon, namun sedimen digunakan untuk menyimpan karbon yang
sudah diserap oleh mangrove dan tidak bisa keluar dari sistem ekologinya. Akar
mangrove yang rapat, digunakan seperti saringan. Sebetulnya, sedimen bisa
menyimpan karbon hasil dari serapan mangrove, dan di daerah estuari dari hasil
yang dibawa oleh sungai, kemudian dimasukkan dalam skema pasang surut. Salah
satu riset tentang Mangrove Health Index (MHI), bisa digunakan untuk
menghubungkan dengan biota, sedimen, dll. Kemarin MHI dihubungkan dengan emisi
gas rumah kaca dari sedimen, jadi apabila mangrovenya sehat akan diketahui
keluaran gas rumah kaca. Dari segi kesehatan mangrove berhubungan positif, di
mana ketika mangrovenya sehat maka potensi penyerapan karbon akan semakin
besar/tinggi. Saat ini MHI masih melibatkan parameter tegakan, belum sampai
sedimen. Saat ini, ada karbon yang tersimpan dalam biomassa, hubungannya sangat
kuat. Pada aplikasi MonMang, akan dibuat pemetaan tentang karbon. Bulan Oktober
akhir, akan ada launching aplikasi MonMang kedua dengan fitur yang banyak,
seperti identifikasi otomatif, jadi hanya memfoto jenis mangrovenya nanti sudah
bisa diketahui jenis/nama mangrovenya. Selanjutnya, pada MHI, tinggal
mendownload area mangrove, nanti aka nada sebaran MHI, juga bisa mendownlad
satu provinsi, dan juga mengetahui apakah mangrove berdiri di lahan yang jelek
atau bagus.
Komentar
Posting Komentar