MEMPERINGATI HARI HUTAN INDONESIA
Bersama : Prof. Mohammad
Basyuni
Berdasarkan
data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK,
hasil pemantauan hutan Indonesia Tahun 2019, menunjukkan bahwa luas lahan
berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 94,1 juta ha atau 50,1% dari total
daratan. Kehidupan flora dan fauna daratan sangat bergantung pada hutan, karena
hutan adalah habitat aslinya. Banyak permasalahan hewan liar masuk perkampungan
warga, ya karena habitat mereka dihilangkan, sehingga mereka tidak ada tempat
lagi untuk tempat tinggal, dan mereka akhirnya masuk ke perkmpungan warga untuk
sekedar mencari makan atau bahkan hanya lewat untuk mencari tempat tinggal
baru.
Kondisi
penutupan lahan dan hutan Indonesia bersifat dinamis, seiring dengan kebutuhan
lahan untuk pembangunan dan kegiatan lainnya. Perubahan tutupan hutan terjadi
dari waktu ke waktu, diantaranya karena konversi hutan untuk pembangunan sektor
non kehutanan, perambahan, dan kebakaran hutan.
Pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara terhadap narasumber meliputi
banyak hal terkait dengan kehutanan di Indonesia. Laju deforestasi di Indonesia
terakhir mengalami penurunan dan hal tersebut diakibatkan oleh pandemi
Covid-19. Sebelum pandemi, Prof Mohammad Basyuni mengutarakan sebelum tahun
2012 mencapai 1juta per Ha per tahun sehingga mencatatkan Indonesia dalam
Guinness book of records dikarenakan tingginya laju deforestasi tersebut. Namun
hingga pada tahun 2019 terjadi penurunan laju deforestasi.
Deforestasi menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan hutan, dan
perubahan tutupan lahan. Jika hutan di konfersi menjadi non hutan, pemulihan
tersebut akan mengalami kesulitan. Seperti contoh pembukaan lahan hutan guna
membuat tambak, mendirikan pemukiman sehingga hal tersebut menjadikan hutan
tidak akan bisa di deforestasi kembali. Kemudian, fungsi hutan sendiri selain
berguna bagi flora dan fauna menurut peraturan pemerintah terkait fungsi hutan
sendiri perlu ditelaah kembali dengan pemangku kehutanan. Menurut studi kasus
yang dijalankan oleh prof Basyuni dan tim pada tahun 2000 – 2015 terkait
tutupan lahan berupa semak, tanah kosong dapat digunakan sebagai konfersi bukan
lahan yang berhutan. Perubahan fungsi dari hutan menjadi non hutan ini adalah
deforestasi.
Illegal logging masih marak terjadi di perhutanan Indonesia. Menurut
pengalaman Prof Basyuni pada akhir
April, beliau melakukan pengamatan di hutan selama 2 minggu dan menemukan
banyak kasus illegal logging di perhutanan. Aktivitas ini hampir terjadi di
beberapa wilayah. Salah satu faktor kasus illegal logging marak terjadi
adalah dikarenakan masyarakat sekitar hutan yang hidup berkekurangan sehingga
melakukan penebangan secara berlebihan. Perlunya edukasi masyarakat terkait
pentingnya hutan bagi semua makhluk hidup di bumi, Hutan Ke Masyarakat (HKM)
menjadi salah satu solusi dari Pemerintah dan semakin di perluas terkait hal
tersebut sehingga masyarakat diberi kesempatan untuk mengelolah dengan Hak-hak
penggunaan lahan selama 35 tahun. Solusi lain yang di lakukan oleh pemerintah
untuk mengedukasi masyarakat adalah dengan penerapan sistem Silvofishery
atau sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan usaha
perikanan dan penanaman mangrove, Agroforestry atau wanatani, ekowisata.
Penebangan hutan tanpa memperhatikan aspek Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) memang
jelas marak terjadi dan para penebang liar ini menebang bagian dalam hutan
sehingga bagian luar hutan terlihat masih hijau asri. Pihak kehutanan
menggunakan metode menerbangkan drone dari langit untuk memantau keadaan
hutan dan hasil dari tangkapan video drone tersebut akan di serahkan
kepada DPRD.
Kondisi kehutanan di
Indonesia belum mampu mencapai Sustainable Forest Management meskipun
sistem pengolahan hutan telah banyak di terapkan. Hal ini dibuktikan dari
keadaan kehutanan di Indonesia seperti deforestasi, perubahan tutupan lahan.
Sistem hutan darat yang dikenal dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI) tidak terjadi dengan melihat fakta yang ada di lapangan, pemerintah
telah membuat suatu kebijakan namun pelaksanaannya harus di telaah lebih
lanjut.
Peran dari masing-masing
stakeholder dalam mengelola hutan pastinya yang
pertama adalah Pemerintah, karena pemerintah yang memberikan amanah dan
menjadikan hutan sebagai sumberdaya alam yang digunakan untuk kemakmuran rakyat
atau modal pembangunan sesuai pada Pasal 33 ayat (3) pada UUD 1945 berbunyi
“Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Selain pemerintah,
perusahaan industri harus menyadari bukan hanya keuntungan yang menjadi tujuan
utama namun kelestarian hutan juga penting.
Konflik dan hambatan dalam pengolahan hutan
biasanya terjadi antara tanah adat atau dengan satwa liar yang habitatnya rusak
sehingga mendatangi pemukiman. Konflik ini dapat diselesaikan dengan mencari
akar permasalahannya. Jika terjadi konflik dengan satwa dapat diatasi dengan
mengembalikan habitat nya menggunakan cara restorasi hutan. Selain itu terdapat
konflik berupa perubahan tutupan lahan yang diubah menjadi perkebunan kelapa
sawit, masyarakat banyak yang tidak mengkehendaki.
Sistem pengolahan hutan yang baik diawali
dengan mengenali jenis hutan tersebut, kemudian dapat dianalisis terkait
karakteristik hutan, langkah selanjutnya sistem pengolahan hutan dapat dilihat
di peraturan kehutanan Indonesia. Namun hal yang menjadi masalah adalah
kurangnya monitoring dan evaluasi sehingga ketika terjadi pelanggaran tidak
adanya tindaklanjuti dan tidak patuhnya masyarakat terhadap peraturan yang
telah dibuat oleh pemerintah sendiri.
Program yang digagas oleh stakeholder dalam upaya melindungi hutan adalah salah
satunya dengan menjalakan dana Corporate Social Responsibility (CSR).
Menurut prof Basyuni setiap stakeholder memiliki programnya sendiri-sendiri yang saling
mengisi. Hal yang menjadi kekurangan dalam program upaya melindungi hutan
adalah kurangnya koordinasi antar stakeholder sehingga dapat menjalankan perannya masing-masing.
Di Indonesia masih
terdapat hutan alami atau hutan primer yang termasuk kedalam hutan suaka alam,
hutan lindung. Hutan-hutan tersebut sengaja belum dikelolah karena memang
diperuntukkan sebagai sarana konservasi kelestarian alam, suaka alam, kawasan
lindung. Hutan sendiri digolongkan dalam beberapa golongan seperti hutan
lindung, hutan produksi (produksi tetap dan produksi terbatas), dan Area
Penggunaan Lain (APL) digunakan untuk konversi.
Sistem monitoring
yang digunakan dalam pengolahan hutan dilaksanakan secara terstruktur dan
terkoordinasi sesuai dengan jadwal dan aturan yang telah di tetapkan. Dampak
kesalahan pengolahan hutan adalah kehilangan biodiversitas flora dan fauna,
menimbulkan konflik antara satwa dengan manusia, penghasil CO2.
Masyarakat adalah pihak yang banyak dirugikan. Selain itu, dampak kesalahan
pengolahan hutan penurunan kawasan wilayah hutan.
Cara masyarakat terutama mahasiswa dalam
menjaga hutan adalah dimulai dari hal yang paling sederhana yaitu melakukan
penanaman tanaman, melakukan edukasi dengan masyarakat bahwa fungsi hutan
sangatlah penting bagi masa depan terutama yang berkaitan dengan perubahan
iklim, melakukan restorasi dan rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi hutan.
Komentar
Posting Komentar