Konservasi Mangrove dalam Upaya Ekosistem Berkelanjutan
Malang, LPM AQUA-Selasa (08/11/2022) Hutan merupakan
salah satu elemen bumi yang berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Namun,
sangat disayangkan bahwa kondisi hutan Indonesia saat ini semakin menipis.
Pembukaan lahan, pembangunan hunian warga, penebangan liar, masih banyak lagi
kegiatan yang menjadi sumber penyebab gundulnya hutan-hutan yang ada di
Indonesia saat ini. Perbaikan di sana sini sudah coba dilakukan, namun tak
sebanding dengan banyaknya pohon yang ditebang secara terus menerus.
Apabila diperhatikan kembali, Indonesia memiliki potensi
lain yang dapat membantu untuk menyerap emisi karbon. Ekosistem pesisir seperti
mangrove, seagrass (tumbuhan laut) dan seterusnya dapat berfungsi
sebagai penyerap karbon. Umumnya, karbon-karbon tersebut akan diserap oleh
mangrove maupun seagrass yang selanjutnya akan disimpan. Emisi karbon
yang tersimpan tersebut disebut sebagai Blue Carbon.
“Mangrove itu sebenarnya adalah ekosistem yang bahkan
paling besar dalam menyimpan karbon. Bahkan tercatat bahwa sebenarnya, kalau
saya tidak salah datanya mangrove itu mampu menyimpan sekitar 3,1 miliyar ton
dan itu setara dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari 2,5 miliyar
kendaraan yang dipakai per tahun,” jelas Pak Alfi salah satu dosen FPIK.
Sebanyak 23% ekosistem mangrove terdapat di Indonesia.
Itu artinya Indonesia memiliki potensi yang besar untuk memanfaatkan mangrove
tersebut sebagai ekosistem Blue Carbon. Perlu adanya pengelolaan dan
konservasi terhadap ekosistem mangrove sehingga tidak rusak akibat adanya
kegiatan warga, seperti pembukaan lahan untuk tambak dan seterusnya.
Mangrove dapat dikatakan mampu untuk membantu mengurangi emisi
karbon apabila dikelola dengan baik. Mangrove sering kali diabaikan sehingga
tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Sebenarnya sudah banyak ekowisata
Indonesia yang bertemakan mangrove, namun sering kali dalam pengelolaannya
masih kurang sehingga esensi dari keberadaan mangrove tersebut dianggap masih
kurang.
“Bagus sih konsep ekowisata mangrove itu sebenarnya, jadi
mangrove dibuat konsep wisata. Hanya saja kadang kala saya menyayangkan terkadang
wisatawan yang datang ke situ tidak terkontrol, yang tadinya kita mau membuka
wawasan agar masyarakat tahu tentang mangrove melalui ekowisata, justru
mangrove tersebut malah rusak setelah dibuka sebagai ekowisata,” ungkap Pak
Alfi.
Adanya kekhawatiran tersebut mendorong generasi muda agar
paham dengan manfaat adanya ekosistem mangrove. Pemahaman tersebut akan sangat
bermanfaat untuk membantu kelanjutan konservasi mangrove yang sudah dilakukan
saat ini. Pemahaman dalam pemanfaatan mangrove yang sesuai dengan takaran dan
tidak mengeksploitasi serta merusak ekosistem dari mangrove tersebut.
“Bagaimana generasi penerus ini memang harus diberikan
pemahaman bahwa sebenarnya mangrove bukan hanya tanaman liar, bukan hanya
tanaman yang langsung jadi,atau tanaman yang tiba-tiba ada, tapi mangrove ini
memang punya potensi yang luar biasa dan bagaimana generasi penerus ini
memahami mangrove sebagai potensi untuk melindungi daerah pesisir khususnya dan
seluruh daratan pada umumnya yang terkait dengan perubahan iklim tadi,”
“Jadi mulai dari dini muatan-muatan tentang tanaman
mangrove kita masukkan ke dalam kurikulum IPA atau membuat muatan lokal,
ekstrakulikuler peduli lingkungan yang concern untuk daerah pesisir itu.
Sehingga dari situ kemudian orang-orang melihat mangrove itu sebagai sesuatu
yang harus dijaga, bukan sesuatu yang dibiarkan begitu saja,” ungkap Pak Alfi. (dnp)
Komentar
Posting Komentar