Ilustrasi : google image/goAceh
Secara bahasa, informasi memiliki arti pesan (ucapan atau ekspresi) atau kumpulan pesan yang terdiri dari order sekuens dari simbol, atau makna yang dapat ditafsirkan dari pesan atau kumpulan pesan. Namun saat ini informasi tidak sekadar digunakan sebagai media penyaji informasi publik tetapi juga dijadikan alat saji peristiwa yang mampu menggiring opini pembaca dan berdampak luas serta signifikan terhadap pola pikir masyarakat. Singkatnya, informasi telah menjadi objek pembentuk wacana dan ideologi.
Contohnya peristiwa berdarah G30S/PKI yang hingga saat ini telah menjadi stigma bahwa komunis adalah fundamentalisme agama dan negara, yang oleh sebab itu segala bentuk pemikiran komunisme haram hukumnya hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia. G30S/PKI menjadi informasi besar (grand information) dalam dunia sejarah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa anti-komunis. Selama informasi-informasi ini masih bertahan menghegemoni masyarakat tanpa tandingan yang sepadan, maka tidak mungkin pendapat yang berseberangan akan diterima dengan lapang dada. Selain informasi G30S/PKI tadi, ada informasi-informasi besar lain yang dengan leluasa bisa ditemui di dalam masyarakat Indonesia. Sebut saja agama, norma, adat-istiadat, dan budaya. Tidak mengherankan bila masyarakat Indonesia kini sedikit resah, sebab mereka sedang duduk di tengah kepungan informasi penuh kepentingan yang saling konflik satu sama lain.
Dalam dunia informasi kita sering mendengar kata hoaks. Dalam buku “Sins Againts Science”, Lynda Walsh menjelaskan bahwa istilah hoaks muncul pertama kali pada tahun 1808. Hoaks merupakan berita bohong atau sebuah informasi yang belum tentu kebenarannya. Namun pada era sekarang degradasi kebenaran informasi semakin terlihat nyata dan bahkan informasi sering digunakan sebagai senjata yang disalah gunakan oleh para oknum tertentu, sudah bukan rahasia jika hoaks bukan lagi sebagai informasi yang harus dihindari para “oknum” kelas atas melainkan sebuah “keharusan”. Pada akhirnya fakta berbicara, membuka kebobrokan demi kebobrokan informasi yang tersebar luar di masyarakat. Politik uang menjamah segala bentuk kegiatan di dalamnya. Bagi “oknum” kelas atas, akses mendapatkan fasilitas lengkap akan dimudahkan, simbiosis mutualisme antara “oknum” kelas atas dan pembuat berita hoaks bisa dijalin dengan baik selama dana lancar, yang tentunya tanpa melupakan peribahasa, "Ada rupa pasti ada harga". Hal ini merupakan salah satu contoh kecil bentuk nyata kengerian Sarance, sebuah organisasi terstruktur yang menyebarkan hoaks dan mendapat imbalan dari kliennya. Saracen sukses meraup keuntungan besar dan menggerakan kemudi opini publik kearah yang mereka inginkan, sejalan dengan kemauan sang klien.
Media sosial yang sering dikatakan sebagai media informasi, media bebas berpendapat namun tetap memiliki hukum yang mengatur yaitu Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun pada era Post-Turth saat ini yang mengunggulkan kedekatan emosional dan keyakinan pribadi dengan informasi yang diedarkan juga akan membuat naluri seseorang dengan mudahnya membenarkan informasi yang didapatkannya. Menurut Badan Intelijen Negara (BIN) pada tahun 2018, 60% konten media sosial adalah hoaks. Megapa hal ini bisa terjadi? Salah satu pakar BIN (Wawan) dalam pidatonya, ia menjelaskan bahwasanya presentase informasi hoaks bisa mencapai angka 60% dikarenakan kurangnya daya kritis masyarakat dalam menyaring informasi. Masyarakat masih perlu meningkatkan kesadaran karena banyaknya hoaks yang “seliweran”, maka perlu dilakukan cek dan ricek kebenarannya.
Didalam setiap informasi ada kepentingan mencolok yang menjadi ciri khasnya. Oleh sebab itulah informasi berupaya menggambarkan senyata mungkin suatu perisitiwa dengan tujuan meyakinkan pembaca dan pendengarnya bahwa apa yang mereka baca atau dengar adalah benar adanya. Sikap menerima atau resisten pada informasi tertentu adalah pilihan, karena pada kenyataanya kebenaran dari setiap informasi merupakan kebenaran tentative yang tetap akan disesuaikan dengan kompetensi informatif dari tiap-tiap pembaca atau pendengarnya. Semua orang berhak memilih perspektif mana yang menjadi pisau analisis dalam membaca informasi tersebut. Akan tetapi ada konsekuensi dan prisip yang harus dipegang, bahwa setiap perspektif yang menjadi kacamata pembaca informasi harus bersifat multidimensional dan cair.
Informasi begitu mudah ditemui, baik berupa informasi dikotomi politik maupun informasi etis tentang kehausan eksistensi diri untuk menjelma menjadi manusia kekinian. Informasi tetap punya dampak dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun satu hal yang pasti, dalam setiap informasi butuh kompetensi informatif untuk membaca dan menangkap esensi utama dari terbentuknya informasi itu agar cara pandang yang didapatkan tetap cair dan terhindar dari sifat baper dalam menanggapi segala kemungkinannya.
Degradasi kebenaran sebuah informasi dapat dilawan dan dicegah oleh berbagai pihak. Tidak ada salahnya jika setiap informasi yang diterima ditelaah kembali. Hoaks juga dapat diperangi dengan membaca. Semakin banyak sumber yang dibaca, maka sebuah informasi dapat dikaji dari berbagai perspektif. Skeptis terhadap informasi itu perlu. Hoaksmenjadi salah satu momok bagi semua lapisan masyarakat. Sudah seharusnya klarifikasi dan kejelasan sebuah informasi menjadi acuan utama dalam menyampaikan kebenaran.
oleh : Renny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar