Ilustrasi : google image/harian nasional
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN” (Wiji Thukul) begitulah anjuran dalam sajak ini.
2018, era dimana kaum oposisi menjadi diharamkan. Oposisi adalah kaum yang berlawanan dengan jalan pemikiran kita. Maka pihak yang menjadi lawan tidak boleh mengkritik. Jelas pada keadaan seperti ini unsur “keberpihakan” menjadi salah satu unsur terkuat mematikan kritik seseorang. Notabene kritik adalah suatu cerminan yang menggambarkan sebuah pendapat dan masukkan, bagaimana menganalisis dan mengevaluasi dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, ataupun membantu memperbaiki perkerjaan. Namun yang menjadi garis besar disini adalah kritik yang disampaikanpun harus dengan metode yang baik dan benar.
Dalam lingkup organisasi, perkuliahan, kenegaraan ataupun lingkup lainnya (read : komunitas) ada sebuah kesalahan yang mendasar apabila kita memasung kreativitas berpikir (kritik) dengan alasan yang cukup klasik “etika-moralitas” atau dengan kata lain penulis menyebutnya “sungkanisme”. Sudah menjadikemestian bahwa kebebasan berpikir harus menjadi landasan utama dalam rangka mentransformasikan ilmu pengetahuan.
Tidak boleh ada tindak represi atau ancaman untuk setiap gagasan yang diutarakan. Sebuah komunitas (dalam lingkup apapun) seharusnya menjadi ruang dialog berbagai macam gagasan sehingga sangatlah penting adanya rasa saling menghormati dan menghargai dalam berpendapat, meskipun pendapat itu terkadang bertentangan dengan konsep pemikiran paling mendasar kita. Sederhananya seperti ini, Tuhan menciptakan hamba-Nya dengan bentuk dan karakter yang berbeda-beda (plural), lantas mengapa kita harus memaksakan semuanya sama (tunggal), termasuk dalam cara pemikiran, yang harus dipahami Tuhan tidak melarang hamba-Nya untuk berbeda-beda, yang Tuhan larang adalah perpecahan. Pembeda-bedaan bukan perbedaan.
“Komunitas” seharusnya menjadi pusat spectrum pemikiran yang fleksibel bagi kalangan manapun. Akan sangat aneh apabila “komunitas” kemudian melarang wacana yang berbeda dan menuduhnya subversive dengan alasan “etika-moralitas”. Fenomena pembungkaman memang mejadi trend dewasa ini meskipun tradisi larangan pembungkaman bukan cerita baru, ini adalah cerita lama yang terus menerus diulang, klise. Misalnya saja kritik yang dibungkam mencerminkan indonesia dizaman orde lama, setiap pendapat, kritik, masukan tidak diperbolehkan, tidak dibenarkan, semua masyarakat harus diam dan laksanakan perintah, keputusan mutlak ditangan presiden, secara tidak langsung mencerminkan pemimpin yang otoriter, segala pendapat tidak bebas dapat di berikan, baik secara tulisan melalui media cetak, media suara ataupun media lainnya.
Tapi mirisnya, di era sekarang kritik justru dibungkam dengan kemasan yang berbeda yaitu rasa sungkan. Mereka enggan memberikan kritik dengan berbagai alasan klasik, semisal orang yang dikritik merupakan orang yang telah dikenal sejak lama, ataupun takut mendapat stigma negatif dari orang yang dikritik. Takut jika kritik yang akan disampaikan akan melukai hati sehingga ia tidak akan dipercaya lagi. Dan yang lebih parah adalah takut melontarkan kritikan karena akan berdampak pada kehilangan “jabatan” ataupun “status” yang disandang”.
Kecenderungan kebebasan berpikir dan berekspresi menjadi sesuatu yang menakutkan di komunitas sekarang. Banyak kritikus yang difatwa provokatif karena pandangan-pandangannya yang dianggap tidak sejalan dengan moralitas serta kebijakan “level atas”. Untuk meneguhkan otoritas dan idealisme, mereka mengeluarkan sebuah aturan dan kebijakan yang sesungguhnya tidak mencerminkan sikap yang bijak, justru sebaliknya malah mengancam dan menakut-nakuti setiap kritikus yang bermain-main dengan kebijakan “level atas”.
Ortodoksi pemahaman tentang etika pada dasarnya dibangun untuk mempertahankan ajaran-ajaran yang mapan dan menjaga status quo kekuasaan para “level atas”. Seharusnya, “komunitas” ditampilkan sebagai ruang mendialogkan wacana, bertukar gagasan, transformasi pengetahuan, pengkajian secara mendalam.
“Sungkanisme” dan “Keberpihakan” akan mematikan kebebasan berpikir untuk berpendapat. Mengapa demikian ? karena dua hal tersebut merupakan dasar keragu-raguan seseorang untuk menyampaikan sebuah kritik. Belum lagi unsur “keberpihakan” yang jelas akan menimbulkan pembungkaman kritik kepada pihak yang membawahinya. Kalaupun sisi “Sungkanisme” dan “Keberpihakan” bisa mengeluarkan kritik, jelas kritik yang disampaikan akan menimbulkan keraguan dalam prespektif objektifitas penilaian terhadap suatu permasalahan.
Tidakkah layak bagi masing-masing orang memperoleh hak-hak berbeda pendapat ? Apakah setiap orang memiliki otoritas untuk menghakimi kebenaran pendapat orang lain? Bukankah sebuah kebebasan telah dijamin oleh Undang-Undang, dan kebebasan berpendapat, berekspresi serta berserikat dilindungi oleh konstitusi? Kita harus berani mengatakan bahwa “komunitas” diselenggarakan sebagai bentuk untuk memanusiakan manusia, dan kebebasan berpikir merupakan bagian penting dari nilai kemanusiaan. Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban besar terlahir ketika akal, kebebasan berpikir dan berekspresi mendapatkan tempat yang layak dalam tradisi kehidupan.
Pertanyaan-pertanyan ini penting untuk didiskusikan dan selesaikan. Masih relevankah memusuhi dan memerangi tradisi berpikir bebas dan kebebasan berekspresi atas nama “sungkanisme” dan “keberpihakan”? Masihkah layak pelarangan dan pembungkaman suara-suara kritik? Apabila pelarangan pembungkaman itu dibenarkan dengan kemasan apapun, maka selayaknya apa yang dianjurkan Wiji Thukul dalam sajaknya perlu diimplementasikan. Mari kita pahami bersama.
Oleh : Reny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar