Ilustrasi: Google image/ Media publica
Jika sudah tahu bahwa prinsip jurnalisme adalah pada idealismenya, mengapa masih dipertanyakan?
Dimulai dari judul berupa kalimat tanya yang mencoba menantang para pembaca sekilas meraba-raba jawabannya. Kurang elok mungkin ketika orang lain bertanya, kita justru menimpalinya dengan pertanyaan lagi. Yang justru, akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain tak berujung. Meskipun ada peribahasa legenda: malu bertanya sesat dijalan.
Perlu diketahui tidak semua orang memiliki titik berangkat yang sama untuk menjadi bagian dari pers mahasiswa (persma). Masih banyak dari teman-teman yang mengira bahwa persma hanya sebagai tempat pelatihan jurnalistik. Memang betul jika persma menjadi wadah pelatihan skill jurnalistik, walau tak dipungkiri organisasi tersebut juga menjadi wadah pendidikan karakter anggota-anggotanya.
Namun pertanyaan seperti judul diatas sangat wajar untuk dipertanyakan mengingat apa yang dilakukan oleh pendahulu bisa menjadi beban generasi penerus selanjutnya. Misalnya ihwal idealisme persma bahwa orang-orang persma harus begini-begitu; seperti gemar berbuku, diskursif, pandai menulis, kritikus kekuasaan, hingga selalu membela yang mustadh’afin. Kenapa harus begitu? Apa perlunya?
Untuk melaksanakan pendidikan karakter, tentunya ada nilai-nilai yang ditransferkan dan teladan-teladan perilaku ideal yang mesti ditiru. Di sinilah, biasanya permasalahan terasa, ketika nilai-nilai dan perilaku-perilaku ideal kepersmaan ditelan atau bahkan dimuntahkan mentah-mentah oleh beberapa anggota. Hingga akhirnya, idealisme persma yang menjadi pakem pendidikan dan perjuangan malah hanya menjadi diskursus identitas yang debateable. Hal ini sungguh melelahkan dan tidak membuat persma semakin sibuk mengasah daya.
Dari mereka, ada yang menyatakan bahwa organisasinya kesulitan membuat anggotanya berdaya intelektual mumpuni. Ada pula, mereka yang memiliki anggota berdaya intelektual bagus namun sulit mengajaknya menapaki jalan perjuangan atau menegaskan keberpihakan. Nah, dari situlah, akan sering muncul pertanyaan: apa yang ditawarkan persma kepada anggotanya? Jika yang ditawarkan hanyalah citra identitas, tentunya, semua yang diajarkan menjadi mentah belaka.
Maka dari itu, perlu menggiring kawan-kawan persma untuk memikirkan kebutuhan keberadaannya. Soal intelektualisme dan sikap menghantam penindasan adalah potensi yang harusnya berguna memenuhi kebutuhan berpersma. Sayangnya, idealisme semacam itu kerap diajarkan muluk-muluk untuk memperoleh gengsi tinggi dan citra terhormat. Ajaran semacam itulah yang akhirnya menjadi penyakit dan malah menjadi serangan balik bagi persma.
Ajaran yang menempatkan idealisme sebagai citra identitas hanya akan membuat anggota persma sibuk mengejar penghargaan semu. Pada akhirnya, akan sangat sulit menemukan banyak anggota persma dengan keilmuan mendalam dan peka nuraninya terhadap situasi sekitar. Jika persma-persma semakin menghayati kebutuhannya, mereka akan menghindari ajaran idealisme yang cenderung menggairahkan anggotanya pada pencitraan semu
Sejatinya, persma selalu membutuhkan apresiasi atas kerja keras berkarya medianya. Apresiasi itu tidak datang dengan sendirinya. Kinerja jurnalistik persma yang dianggap bagus berasal dari proses keilmuan dan laku perjuangan yang militan. Kalau mereka membutuhkan apresiasi bagus, maka pakem berilmu dan berjuang harus sungguh-sungguh dilaksanakan. Dan sesungguhnya, pakem tersebut benar-benar sederhana, asalkan mau konsisten dan tidak terlalu tergiur oleh urusan citra.
Oleh sebab itu para anggota persma perlu terjun ke dalam akar rumput dimana adanya orang-orang yang ditindas kekuasaan. Tanpa bermaksud menyiksa anggota persma dengan beban peranannya, hal ini bisa menjelaskan kepada mereka bahwa idealisme itu berguna untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sederhananya, idealisme adalah pembacaan atas nama kebutuhan. Seperti kata Mike, vokalis Marjinal “Melakukan budaya tanding bukan semata-mata untuk menandingi (kemapanan). Melainkan, memenuhi kebutuhan kita sendiri”.
Komentar
Posting Komentar