Di tengah
terik matahari, ia membuka sebuah catatan lusuh dengan sampul berwarna coklat.
Sesekali ia mengusap peluh yang menetes dari sudut ubun-ubun. Di atas kursi
kayu, ia bersimpuh ditemani dempuran ombak. Jari-jemarinya ditekuk dan bibirnya
seakan berkomat-kamit mengucapkan angka-angka.
Di sisi
timur nampak dua sejoli sedang memadu kasih menikmati sejuknya semilir angin.
Sedangkan di sisi barat, pria berbadan bongsor nampak asik menebar kail. Anak-anak
berambut pirang mengorek pasir ditemani sendok plastik putih dan gelas air
mineral bekas. Menggali pasir mencari hewan-hewan bercangkang seakan menemukan
harta karun.
Seorang lelaki
hanya bisa mengernyitkan dahi saat seorang pria paruh baya menghampiri.
“Buat apa kamu buka buku lagi?”, tanya laki-laki itu dengan suara
lantang dan tangan kanan menenteng jaring.
Pemuda berusia belasan tahun
tamatan SMA itu hanya tersenyum kecut. Sembari terus membolak-balikkan lembaran
tipis buku latihan soal matematika.
Dia adalah Bahari,
anak nelayan kecil yang memiliki mimpi besar. Entah apa yang menjadikan orang
tuanya memberi nama itu. Apakah harapan untuk bermanfaat seperti luasnya samudera.
Ataukah hanya bermakna sunyi sepi hidup sebatang kara seperti saat berlayar di
tengah lautan.
Bahari merupakan
anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya sudah menikah dan menjadi
seorang buruh di kota besar. Kakak keduanya pun sudah berkeluarga dan memiliki
dua orang anak. Ayahnya hanya seorang nelayan bermodalkan kapal bermesin yang
sekali-kali macet. Ibunya hanyalah seorang buruh bantu pembuat terasi di desa.
Sementara ia sendiri hanyalah pengangguran yang masih ingin menjadi sarjana.
Ia segera
menutup buku saat perahu ayahnya yang penuh tambalan telah mendekati bibir
pantai berpasir hitam. Perlahan-lahan Bahari melangkahkan kaki tak beralas
membawa timba plastik berwarna hitam. Ia menghentikan langkahnya sejenak,
sambil menengok ke atas. Mengamati awan-awan yang seakan berjalan dan burung-burung
yang menari-nari. Ia pun tak henti-hentinya bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa negara sekaya ini, masyarakatnya
banyak yang sengsara?”. Seketika perkataan ayahnya membuyarkan lamunan
Bahari.
“Hari ini tangkapan ikan cuma sedikit, Har”, ucap Ayah Bahari sambil
meletakkan dayung.
“Ya pak, kalau rezeki kita cuma segini, tidak masalah, bersyukur saja”,
balas Bahari sembari memindahkan ikan-ikan kecil ke dalam timba, yang tidak
sampai dua puluh jumlahnya itu.
“Kamu masih ingin kuliah, nak?”, tanya Ayah Bahari sebatas basa-basi.
Walaupun ia tahu bahwa keinginan itu mustahil terwujud.
“Jangan dipikrkan pak, kalau rezeki gak akan kemana”, Bahari hanya
ingin melapangkan hati ayahnya dan tidak mau menimbulkan permasalahan.
Bahari memejamkan
mata dan tidak terasa setetes dua tetes air mengalir dari ujung matanya. Barang
dua menit, ia terisak tak bisa membendung kegelisahan yang menghadang.
Cita-citanya sungguh mulia dan sederhana. Di saat pemuda seusianya sibuk
menebar jaring dan menjual ikan di pasar. Ia hanya ingin merasakan duduk di
bangku kuliah. Impian sederhana itu terasa sulit untuk menjadi nyata karena
persoalan ekonomi. Ia hanya ingin mengangkat derajat ekonomi keluarganya. Angannya
banting tulang memakai jas dan dasi walau upah hanya UMR tak mengapa.
Ia kembali
menyilangkan kaki di atas kursi kayu reyot keropos akibat di makan oleh rayap. Ia
masih memikirkan perkataan ibunya yang saat itu sedang merebus singkong untuk
bekal melaut ayahnya. Ucapan yang menghilangkan semangatnya untuk berjuang dan
memilih untuk menyerah saja.
“Sudahlah nak, buat apa kuliah kalau nanti cuma jadi nelayan?”
Oleh : Melynda Dwi Puspita
Komentar
Posting Komentar