RAKSASA
Oleh: Puput Dwi Setyo Rini
(Sumber: Andy Barbour-pexels.com)
Hampir genap lima bulan lamanya aku tidak bisa tidur dengan
tenang dan selalu terjaga ketika tengah malam. Malam hari terasa sangat sunyi,
suara-suara menjadi tiada, kamar ini seolah berisi ruang hampa tanpa ada
kehidupan lainnya. Ruangan ini terasa begitu menyesakkan, dinding-dinding kamar
saling berhimpitan, benda-benda berbenturan, aku seperti melayang-layang, udara
dalam dada ini kian menipis, rongga dadaku semakin sempit. Aku benar-benar
tidak bisa bernapas. Seperti ada hal-hal mengerikan yang menutupi saluran
pernapasan ini. Seperti aku begitu terasing dalam labirin mengerikan juga
sedang berada di alam yang bahkan tak kumengerti sendiri. Apakah ini nyata
ataukah aku sedang berada di alam mimpi?
Aku pernah bermimpi indah. Indah sekali hingga aku merasa
impianku tercapai ketika aku mengalami mimpi itu sendiri. Aku merasa
seolah-olah aku memang benarbenar bermimpi. Aku bermimpi aku bisa terbang.
Terbang seperti burung di angkasa dan melayang-layang seperti mainan pesawat
bikinan para bocah. Aku seperti merpati kecil, berbaju putih dengan rambut yang
melambai tanpa alas kaki sedang menuruni lembahlembah indah dan bertemu banyak
sekali pasang mata ajaib yang cantik dan menarik. Namun bermimpi terbang
hanyalah satu dari sekian mimpi indah yang kualami.
Lima bulan yang lalu aku bermimpi. Seekor raksasa
mendatangiku. Ia mengajakku berkeliling ke suatu tempat yang belum pernah
kujumpai sebelumnya. Ia mengajakku berbincang dan menawarkan sesuatu. Ia
mengenalkanku kepada ibunya, adiknya, saudaranya, dan banyak sekali raksasa
lainnya.
“Tinggallah bersamaku, aku ingin hidup bersama manusia
kecil sepertimu,” pinta raksasa itu.
Aku menolak. Aku
hanya suka diajaknya berkeliling dan menemukan tempat ajaib yang benar-benar
belum pernah kujumpai di dunia ini. Raksasa itu memohon kepadaku untuk tinggal
juga berjanji akan menemukanku jika aku terbangun dari tidurku nanti.
Aku terbangun dengan napas yang kembali berkejaran. Kala
itu malam begitu menakutkan. Ingatanku kembali melayang. Sewaktu aku kecil
sekali, aku pernah bermimpi bertemu raksasa besar. Aku dimakannya
habis-habisan, dicekik hingga kehilangan kesadaran serta tubuhku dikuliti
hingga keseluruhan bagian. Ia menyerangku, menelan diriku bulat-bulat,
menghisap seluruh darah yang mengalir di tubuhku hingga yang tersisa hanya
berupa potongan-potongan daging yakni kepala, sepasang tangan dan kedua kakiku
saja. Tanganku berguna untuk mengusapi bekas air mata yang mengalir di pelupuk
mata juga kakiku berfungsi dengan baik untuk kabur dan menemukan tempat
persembunyiannya.
Biarlah mimpi hanya sebagai bunga tidur,
begitu kata Ibunda.
Namun terkadang ada hal-hal di luar logika yang tak bisa
dipikir dengan kepala manusia. Hal-hal mengenai mimpi aku memaknainya dengan
satu kata yakni misterius. Aku merasa hampir gila hanya karena mengalami
bermacam mimpi buruk yang selalu membuat diriku terbangun dengan histeris dan
terjaga sepanjang malam. Bagaimana ketakutan menyedot habis diriku menuju
dasar-dasar ketidaksadaran. Bagaimana aku merasa seperti melihat hal-hal yang
begitu misterius melebihi apa pun yang pernah kualami dan kutemukan. Sungguh
ini merupakan sesuatu yang sangat membingungkan.
Jujur saja, ada kalanya aku begitu ketakutan untuk tidur.
Aku memilih tidak tidur ketika malam dengan menghabiskan satu buku dongeng
serta cerita keajaiban yang nantinya akan kubacakan untuk anak-anak di
sekolahan. Ini menimbulkan banyak sekali hal-hal yang cukup mengganggu dalam
keseharianku. Semua tidak tepat pada jamnya, tidak tepat pada porsinya, tidak
sesuai pada yang seharusnya. Tentu saja ini sangat mungkin mempengaruhi
kesehatanku.
Aku hanya bersyukur manusia di rumah mengerti akan aku. Aku
yang bisa tidak berkomunikasi dengan manusia selama beberapa jam. Aku yang
hanya ingin berkomunikasi dengan anak-anak saja. Aku yang akhirnya bosan sebab
terlalu banyak berbicara dengan anak-anak. Dan aku yang juga mengeluh belum
berbicara dengan manusia dewasa selama beberapa waktu dalam satu hari lamanya.
Pagi itu aku kembali memasuki ruang kelas satu,
beraktivitas seperti biasa dengan siswa-siswi yang lucu serta menggemaskan.
Namun aku menjumpai sesuatu yang ganjil. Aku tidak berpikir lebih jauh mengenai
sebab akibat terjadinya hal-hal yang bukan urusanku. Seorang bocah laki-laki
kecil yang terduduk di baris nomor dua dari belakang mencuri perhatianku. Bukan
dari penampilannya. Bukan dari tutur bicaranya. Namun dari sorot matanya. Aku
melihat tatapan kosong, tatapan pasrah, tatapan yang entah apa itu yang kini
sedang disembunyikannya. Ia tidak pernah membuka suara. Selalu bungkam. Tidak pernah
bermain bersama teman-temannya. Selalu duduk dan diam setiap harinya.
Namun kini ia tengah membunuh cicak dengan membabi buta. Ia
memukul cicak dengan sepatu hitamnya. Cicak itu menggelepar. Cicak itu memipih
dengan darah berada di mana-mana. Aku menghentikannya. Kemudian segera
menariknya dan menanyakan banyak sekali pertanyaan mengapa ia bertindak seperti
raksasa?
***
Pagi-pagi sekali aku terbangun. Aku segera bersiap dan bergegas menuju tempat
aku harus bertemu teman lamaku. Hari ini hari minggu, tentu saja aku tidak
pergi ke sekolah dan menemani anak-anak belajar. Kuhentikan laju motorku.
Ketika sampai di sebuah kedai itu, mataku mencari keberadaannya. Oh, rupanya ia
berada di sana! Aku berjalan menghampirinya kemudian duduk dan menatapnya.
Mengapa ia berubah menjadi
wujud raksasa?
Andi. Dia adalah Andi.
Bukan raksasa. Tetapi mengapa ia menjadi seperti ini?!
Aku sekuat tenaga mencoba
untuk bertahan dan tetap menanggapi ucapannya.
“Sal, ayo, ikutlah
bersamaku,” pintanya.
Mataku membulat dengan sempurna. Mengapa ia mengajakku?!
Mengapa Andi terlihat seperti raksasa itu? Andi. Dia adalah Andi.
“Salma, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Kau terlihat
sangat hebat di mataku,” ucapnya lagi.
Andi. Dia adalah Andi teman lamaku. Kami sudah lama tidak
bertemu. Aku tersenyum samar. Jantungku berdegub dengan begitu kencang.
Keringat dingin membasahi telapak tanganku. Aku menggigiti kukuku. Bibirku bergemelatuk. Raksasa! Dia adalah
raksasa! Larilah! Begitu kata suara-suara dari arwah cicak yang telah dibunuh
muridku.
Andi kemudian menggenggam
tanganku lalu memelukku.
Aku bungkam tidak bersuara. Aku kembali menyelami ketidakberdayaanku.
Napasku perlahan menghilang. Jantungku berdegup cepat. Tanganku bergetar dengan
hebat. Aku kehilangan udara. Aku kembali mengejar napasku yang lenyap ditelan
kesadaran. Semakin kuhirup aku semakin tersesat dan berubah menjadi mayat. Pandanganku
kabur. Aku tak mampu menghadapi ketakutanku. Raksasa. Aku terjatuh di dalam
pelukan raksasa. Aku akan dimakan olehnya. Tolong selamatkan aku siapapun itu.
Mataku terbuka dan tertutup dengan sendirinya. Kesadaranku terenggut dengan
perlahan. Kemudian aku mendengar Andi berteriak memanggil namaku dan aku jatuh
tertidur dengan imajinasi raksasa yang semakin buram.
***
“Kenapa kamu tak ingin
bertemu denganku?” ucap sosok itu.
Aku kembali bertemu raksasa. Dia mengikutiku dan terus
berjalan ke arahku. Aku berlari ketakutan dan semakin hilang arah. Dia
mengejarku dengan begitu cepat. Langkah kakinya lebar-lebar, aku semakin
mempercepat kecepatanku berlari. Tidak! Aku tidak ingin dimakannya lagi. Cukup
hanya ketika kecil saja aku menjadi korban dan menjadi santapan buasnya. Aku
kini sudah dewasa. Aku tidak sudi menjadi korban makhluk hina itu untuk kedua
kalinya.
Ketika itu aku hanya anak kecil. Begitu teganya ia
membunuhku dan menguliti segala pakaianku. Aku betul-betul tidak habis pikir.
Mengapa bisa ada manusia hina yang benar-benar adalah seorang bangsat. Betapa
teganya ia mengurung diriku dan aku hanya mampu kebingungan dan terisak dengan
tangis yang begitu memilukan. Aku begitu ketakutan. Aku begitu ingin keluar dan
lari dari sosok itu yang begitu mengerikan. Aku benar-benar kebingungan dan tak
mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi.
Aku menangis menuju rumahku, Ibundaku berlari memelukku.
Menanyakan mengapa aku selalu murung dan diam terus-terusan. Aku menjadi
bungkam. Aku menjadi diam. Aku menjadi aku tanpa ada sarung tangan beludru.
Mengapa ini semua terjadi kepadaku? Aku hanya makhluk kecil. Aku hanya manusia
kecil yang bahkan baru belajar membaca dan mengeja.
“Aku tidak ingin memakanmu, aku hanya selalu berangan
tentangmu,” begitu tuturnya lagi.
Aku kembali terlempar bersama mimpi dan raksasa. Aku
berhenti berlari. Aku berdiri di hadapan raksasa. Mendengar segala permohonan
maaf dan banyak sekali penyesalan lainnya. Dia tiba-tiba berubah wujud menjadi
Andi. Andi adalah teman lamaku. Andi, siapakah Andi? Apakah Andi adalah
raksasa?
Tidak.
Andi tidak
menyakitiku.
***
“Salma!”
Aku mendengar suara dengungan penyejuk udara yang terdengar
konstan. Aku membuka mataku dengan perlahan, menatap langit-langit di ruangan.
Tirai-tirai putih mengelilingiku. Andi berada di sampingku. Tergambar raut
cemas dan juga sedikit ketakutan.
Andi telah menolongku.
“Salma, apakah aku telah
berbuat salah padamu?” tanyanya.
Andi tidak memakanku. Aku bangkit dengan perlahan. Aku
menggeleng menanggapi pertanyaannya dan tersenyum samar menatapnya.
“Terima kasih sudah
menolongku.”
***
Malam itu aku mendapatkan pesan yang mengejutkan. Seorang
teman lama mencoba menghubungiku, menanyakan kabar dan segala pertanyaan
lainnya seperti apa kesibukanku, apa kegiatanku, di mana aku menghabiskan
waktuku, alamat rumahku, juga pesan-pesan lainnya. Aku merasa seperti sedang
diburu. Begitu cepat, begitu tangkas, begitu mahir. Pesan-pesan datang dengan
beruntun.
Ia mengajakku
bertemu.
Bodoh! Aku harus seperti apa? Aku begitu kebingungan
sedangkan aku tak pernah berhubungan dengan laki-laki. Aku memikirkan banyak
sekali persoalan hingga aku jatuh tertidur tanpa kusadari. Sejak malam itulah
pertemuanku bertemu kembali dengan raksasa di alam mimpi.
Keesokan harinya aku tak mampu bangun dari tempat tidurku.
Kelopak mataku membengkak, ranjangku penuh dengan tisu. Bekas air mata yang
mongering terlihat meninggalkan jejak yang tampak begitu mengerikan. Aku
bercermin serta memandangi wajah itu. Semua tampak samar-samar terlukis dalam
ingatanku. Wajah itu adalah wajahku. Wajah itu meski sama namun ia adalah
manusia yang sudah dewasa. Aku beranjak dari kamarku. Segera membersihkan diri
dan bergegas menuju biro konsultasi psikologi.
Ibunda menanyakan kepergianku. Mengapa aku tadi begitu
terburu-buru. Aku hanya memeluknya dengan erat. Bersykur masih bisa memeluknya
sebab ayahku telah pergi bersama dengan ajal yang telah menjemputnya. Hanya
ayah satu-satunya laki-laki yang mampu melindungiku dan aku tak percaya dengan
laki-laki lainnya.
Aku merasa jauh lebih kuat
dan lebih hidup lagi.
Aku melihat ponselku dan teringat pesan dari Andi. Aku
membalas pesan dari Andi. Mengiyakan untuk bertemu.
***
Arwah Cicak itu mendatangiku malam-malam sekali. Ia
bercerita tentang bagaimana ia mati. Ia mengatakan kepadaku tentang betapa
dahsyatnya rasa sakit ketika tak mampu bernapas lagi. Aku mengiyakan sebab aku
pun mengalaminya ketika raksasa hampir membunuhku dan menguliti pakaianku.
Cicak itu terus membayangiku dengan syair-syair penderitaan yang sangat
menyentuh nuraniku. Cicak itu berpesan kepadaku.
“Berhati-hatilah, banyak
manusia-manusia mengerikan.”
“Setuju. Aku pun pernah bertemu raksasa ketika usiaku masih
belia. Benar-benar menyeramkan.”
“Apa dia membunuhmu?”
“Tidak. Dia hampir
memperkosaku.”
“Apa raksasa itu manusia?”
“Ya. Dia manusia paling
hina di dunia ini.”
“Seperti apa rupanya?”
“Laki-laki yang
menyeramkan.”
“Aku akan selalu
mengingatkanmu.”
Arwah Cicak itu perlahan menghilang. Aku melambai padanya.
Berharap semoga keselamatannya dijaga oleh Tuhan.
Komentar
Posting Komentar