Bunga yang Terinjak
(karya: Najla Kamiliya Gunawan )
Jam berdetak dengan keras mengikuti irama jantung. Dalam
lorong yang gelap, beberapa wanita duduk dengan penuh ketegangan. Mereka duduk
berjejer di lorong, tatapan yang penuh kecemasan saling bertaut dalam
keheningan yang mencekam. Udara terasa beku, seolah lorong itu menjadi panggung
bagi pertunjukan ketidakpastian. Setiap napas terasa berat, seakan-akan mereka
menanti waktu yang akan mengguncang fondasi kehidupan mereka.
Dahinya
basah berkeringat meskipun udara malam dingin menusuk panca indra. Dengan susah
payah, ia kembali menelan salivanya. Bola matanya bergetar memancarkan
ketakutan tatkala memandang kejadian mengerikan itu dari balik tirai, hatinya
berdebar-debar di tengah ketakutan. Kegelapan malam menyaksikan
bayangan-bayangan kekerasan, dan ia merasa terjebak dalam
dunia gelap yang tak bisa diubah. Ia sontak menundukkan pandangannya,
membiarkan rambutnya menutupi wajahnya, karena tak sanggup menahan pahitnya
melihat adegan kekerasan yang melibatkan penderitaan. Mendengar suara tamparan
yang menusuk di tengah keheningan, dia mengepalkan pandangannya seperti benteng
pertahanan, berusaha menyembunyikan keterkejutannya di balik mata yang
tiba-tiba berkilat dalam kegelapan malam. Tangis tak berdaya dan rintihan rasa
sakit berpadu tabrak dengan cacian dan makian dari wanita yang biasa disapa nyonya
besar bagai menggema menciptakan suasana hening dan mencekam. Tanpa hati
wanita paruh baya itu melayangkan serangan fisik kepada siapapun yang tak mampu
memenuhi ekspektasinya, bahkan tanpa memedulikan bagaimana kondisi korbannya.
Ia ingat korbannya yang saat ini tengah menjalani masa kehamilan selama tiga
bulan, yang dimana sangat rentan dengan kondisi seperti itu yang malah menerima
perlakuan keji dari sesosok egois dan tak berperasaan.
Suara jeritan dan tangisan membuatnya muak dan kacau.
Dengan tergesa-gesa ia langsung bangun dari duduknya, lalu berlari ke tempat
tak ramai demi menjernihkan pikiran. Taman belakang ia pilih sebagai destinasi
tujuan. Dengan nafas memburu ia duduk di salah satu susunan bata. Menarik nafas
panjang lalu dihembuskan dengan perlahan, mencoba menetralkan deru jantung yang
memacu. Di tengah heningnya suasana luar, Ume membaringkan punggung bersama
jiwa letihnya pada tembok kayu dibelakangnya. Matanya memejam, menikmati
nyanyian jangkrik malam dan keheningan sesaat.
“Ume.”
Tubuhnya
tersentak kaget, bak baru saja tersambar petir ketika tiba-tiba seseorang
memanggil namanya sembari menepuk bahu. Dengan gerakan cepat, dia
mendongak, matanya bertemu dengan lawan bicara yang ada di sampingnya. Dalam
keheningan sebentar, ekspresi wajahnya menggambarkan keingintahuan dengan
sekelibat rasa keterkejutan yang masih disana. "Maaf, maaf. Saya
mengagetkan ya??" Ucap lawan bicara dengan nada tak enak. Dengan
tiba-tiba, hatinya berdegup kencang ketika diajak bicara. Matanya memancarkan
kejutan yang tak tersembunyi, seolah-olah terdampar dalam keheningan yang
akhirnya terlalu singkat.
Kulit sawo matang dengan tubuh ringkih bak menyisakan
tulang, senyum ramah nan lembut dan rambut hitam legam yang disanggul konde.
Warna berani dari kebaya koyak yang digunakan, beserta riasan tipis terlukis
indah diwajahnya yang penuh lebam dan bengkak tebal kemerahan di mata kirinya.
Diperparah dengan cairan merah kental disisi kiri bibirnya yang masih
menyunggingkan senyuman.
"Saya
Minah, asli Wonosobo." Dengan penuh keramahtamahan, dia tersenyum, dengan
deretan gigi putihnya. "Kamu Ume, kan?? Banyak saya mendengar ramai
rekan-rekan membicarakan. Katanya ada gadis Jepang. Cantik, putih dan halus
lembut kulitnya, rupanya itu kamu, kan??? Tak ada sesiapa lagi disini yang bisa
saya simpulkan seperti itu selain kamu." Wajah Ume tercermin
terkejut ketika mendengar kata-kata orang mengenai dirinya, seakan tersapu
angin kejutan yang membawa campuran rasa ketidakpercayaan dan kebingungan yang
tak mampu ia tutupi.
"Lancar
berbahasa Indonesia tidak??" Minah bertanya.
Ume
menggeleng. Hanya sedikit padanan kata akan pengetahuannya mengenai bahasa.
"Tapi apa kamu mengerti setiap kata yang saya ucapkan?? Saya merasa tidak
enak jika hanya berkicau sendirian." Minah terkekeh pelan diakhir
katanya. Ume mengangguk, setidaknya ia dapat memahami meski agak kurang
dipelafalan. "Syukurlah," Masih dengan senyum yang sama, Minah
menghela nafas lega. "Sudah berapa banyak yang kamu hibur??"
Dengan
mata terbuka lebar, Ume terkejut mendengar pertanyaan yang sebenarnya wajar
ditanyakan di lingkungan mereka. Ia mendadak merasa bimbang namun tak etis
untuk menghiraukan. Dengan terpaksa, ia menunjukkan angka 1 dan 5 dengan
jarinya, meski wajahnya memancarkan ketidaknyamanan karena tindakan sederhana
itu menyiratkan lebih dari yang bisa diucapkan.
Minah
yang tampak tak menyadari ketidaknyamanan itu kembali buka suara, "Sudah
banyak ya, padahal baru sebentar. Tapi saya rasa itu wajar. Tidak ada siapapun
yang bisa menolak wanita cantik." Entah Ume harus merasa bagaimana,
namun Ume tak bisa menolak bahwa ia tersinggung dengan kata-kata yang Minah
katakan. Tidak ada sesiapapun yang akan merasa tersanjung di situasi yang saat
ini ia, dan wanita lain alami. Kenangan yang menyakitkan itu bahkan masih
membekas di kepala. Bayangan traumatis menyelimuti jiwa, meninggalkan bekas
luka yang tak terlihat.
"Keberatan
jika saya menemani kamu disini??" Minah bertanya sembari menunjuk ke
tumpukan bata disamping Ume duduk. "Saya hanya sebentar, nanti jam 2 saya
akan pulang."
Ume
tampak berpikir sebentar. Sejujurnya jika boleh berkata, Ume ogah untuk
menerima, apalagi setelah kata-kata tak mengenakkan yang ia ucapkan. Tapi,
melihat bagaimana kondisinya saat ini, Ume rasa ia akan sangat jahat untuk
melakukan sebuah penolakkan. Maka dari itu ia mengangguk sambil menumpuk
tumpukan bata tersebut. Senyum Minah makin merekah, dengan semangat ia
duduk disamping Ume. "Terima kasih, sudah lama saya tak bertukar cerita
lagi disini."
Setelah
itu, keheningan menyelimuti mereka. Di bawah langit gelap, Minah terlihat
menikmati keheningan malam, matanya memandang ke langit bintang dengan
kedamaian yang mendalam sementara yang lainnya menyimak kehadirannya, merasakan
ketenangan yang terpancar dari kesunyian malam yang dalam. "Saya dengar
kamu masih muda," Minah kembali membuka obrolan namun mata tak teralihkan,
"Sekitar dua puluh ya??" Barulah setelah itu ia bertatap mata. Dengan
maksud membenarkan, Ume mengangguk lagi, menimbulkan senyuman teduh yang
semakin dalam dari ekspresi Minah.
"Seumuran
dengan adik saya seandainya masih ada. Dia cantik juga, sama seperti kamu.
Kulitnya sawo matang dan matanya belo. Mungkin karena cantiknya itu dia jadi
banyak yang suka, sampai-sampai suatu hari dia tidak ada kabar, dan ketemunya
saat sudah tidak ada jiwa," Senyumnya perlahan meluntur sembari
pandangannya yang menunduk menatap tanah basah dibawahnya, "Saya merasa
kecewa karena sudah menjadi kakak yang gagal. Ia juga sama seperti saya,
seorang wanita penghibur, namun syukurnya ia berhasil lolos."
"Tetapi,
yang ia kira dunianya akan baik-baik saja selepas kabur dari rumah jahanam,
namun rupanya malah tidak ada bedanya. Adik saya meninggal karena malu, malu
diomongi oleh tetangga. Banyak yang mengatai ia sebagai wanita tanpa urat malu
karena profesi yang ia geluti karena keterpaksaan. Meskipun ia korban, tetapi
orang-orang bahkan bagai buta dan menuli. Mereka mencemooh, dan malah
menyalahkan adik saya yang tidak melawan dan malah rela dipermalukan. Bahkan ia
dianggap sudah rusak." Minah melanjutkan. Dengan tatapan dalam, dia
berkaca-kaca ketika menceritakan sesuatu, suaranya bergetar mencerminkan emosi
yang sulit ditahan, seolah-olah cerita itu membangkitkan kenangan yang
terpendam dalam hatinya.
Dalam
getirnya ceritanya, tangisannya pecah seperti gelombang emosi yang tak
terbendung, merobek keheningan dengan beban berat yang terpendam dalam setiap
kata yang diucapkannya. Dengan itu, Minah mengusaikan ceritanya, disambut
dengan Ume yang dengan tangan terbuka menerima beban berat Ume yang
tertumpahkan meski ia tak berkata. Barulah dari situ Ume mengetahui bahwa
Minah lah orang yang disiksa dibalik tirai tadi. Alasannya karena tidak ada
penarikkan. Nyonya besar menyalahkan Minah karena fisiknya yang ia
anggap kurang sehingga kurang menarik perhatian pelanggan yang padahal saat itu
karena Minah tidak enak badan. "Bagai babi dengan riasan."
pungkas Minah, mengingat kata kejam yang nyonya besar katakan mengenai
dirinya. Rasa sakit hati ia sembunyikan dibalik senyum tipisnya. Dengan itu tak
hanya mental lah yang menjadi korban, tetapi calon janinnya.
Minah
keguguran…
Sebelum
menutupi sesi ceritanya, Minah sempat buka suara bahwa tidak ada siapapun, baik
wanita ataupun pria, yang ingin dirinya dianggap sebagai objek atau barang,
terutama jika diposisi itu ia adalah korban. Setiap orang sudah diciptakan
sebaik-baiknya oleh Sang Maha Pencipta tetapi manusia sendirilah yang merusak
makna dari itu. Dengan penuh pengertian dan keteguhan, Ume menyetujui.
Menyiratkan kesepahaman yang mendalam dan menciptakan ikatan emosional yang
kuat karena perasaan senasib. Baik Minah dan Ume sama-sama korban penculikkan
dan kebiadaban sesama manusia.
"Saya
rasa sudah cukup sesi ceritanya." Ume cukup salut terhadap Minah yang
masih bisa kuat tersenyum sembari menyeka air mata dipipinya, "Saya ingin
pulang, saya sudah tidak kuat lagi disini." Minah terbangun dari duduknya.
Ia mengatakan ingin kedalam, untuk istirahat. Namun sebelum masuk, ia sempat
terdiam lalu memeluk Ume dengan tulus dan lembut.
"Saya
harap kamu memiliki masa depan yang lebih baik dari saya, baik adik saya.
Maafkan saya bila ada kata saya yang menyinggung. Saya akan selalu mendoakan
yang terbaik untuk kamu meskipun sudah tidak ada disini lagi." Kata-kata
yang Minah bisikan sebelum perpisahan malam ini masih membayangi Ume bahkan
ketika batang hidung Minah sudah menghilang dibalik pintu tadi. Biarpun tidak
mampu mengubah keadaan Ume saat ini, setidaknya kata-kata Minah memberikan
secercah harapan untuk Ume bangkit dan berdiri diatas kakinya sendiri.
Ume
sempat berdiam lama merenungi segalanya hingga akhirnya menghela nafasnya,
membuang segala pikiran negative dalam satu helaan nafas. Kini ia optimis,
tidak mau seperti ini lagi. Tak peduli akan hidup atau mati, Ume akan lari dan
bebas dari penindasan ini. Dengan langkah yakin, ia membuka knop pintu
untuk masuk kedalam dengan rencana untuk mengemasi barang-barangnya sebelum
tiba-tiba, teriakan salah seorang wanita lain dari suatu kamar membuat ia
memutar arah untuk berlari ke lokasi kejadian.
Jam
berdentang dengan dinginnya pukul dua pagi, mengimbangi kesunyian malam yang
menyelimuti sekitar. Dengan ekspresi shock yang membeku di wajahnya, matanya
melebar seiring dengan tubuh yang terbujur kaku di depannya. Jeritan
tersedu-sedu melompat dari bibirnya, mengiringi kejutan yang tak terduga. Suara
detak jam seperti seruan kelam, menyertai penemuan yang mencekam: tubuh Minah
yang ditemukan tergeletak dingin di sudut kamar, membawa pesan kelam tentang
keputusasaan yang merajalela dalam kegelapan malam.
Komentar
Posting Komentar