Langsung ke konten utama

CERPEN: BUNGA YANG TERINJAK

 Bunga yang Terinjak

(karya: Najla Kamiliya Gunawan )

(sumber: pinterest)

Jam berdetak dengan keras mengikuti irama jantung. Dalam lorong yang gelap, beberapa wanita duduk dengan penuh ketegangan. Mereka duduk berjejer di lorong, tatapan yang penuh kecemasan saling bertaut dalam keheningan yang mencekam. Udara terasa beku, seolah lorong itu menjadi panggung bagi pertunjukan ketidakpastian. Setiap napas terasa berat, seakan-akan mereka menanti waktu yang akan mengguncang fondasi kehidupan mereka. 

Dahinya basah berkeringat meskipun udara malam dingin menusuk panca indra. Dengan susah payah, ia kembali menelan salivanya. Bola matanya bergetar memancarkan ketakutan tatkala memandang kejadian mengerikan itu dari balik tirai, hatinya berdebar-debar di tengah ketakutan. Kegelapan malam menyaksikan

bayangan-bayangan kekerasan, dan ia merasa terjebak dalam dunia gelap yang tak bisa diubah. Ia sontak menundukkan pandangannya, membiarkan rambutnya menutupi wajahnya, karena tak sanggup menahan pahitnya melihat adegan kekerasan yang melibatkan penderitaan. Mendengar suara tamparan yang menusuk di tengah keheningan, dia mengepalkan pandangannya seperti benteng pertahanan, berusaha menyembunyikan keterkejutannya di balik mata yang tiba-tiba berkilat dalam kegelapan malam. Tangis tak berdaya dan rintihan rasa sakit berpadu tabrak dengan cacian dan makian dari wanita yang biasa disapa nyonya besar bagai menggema menciptakan suasana hening dan mencekam. Tanpa hati wanita paruh baya itu melayangkan serangan fisik kepada siapapun yang tak mampu memenuhi ekspektasinya, bahkan tanpa memedulikan bagaimana kondisi korbannya. Ia ingat korbannya yang saat ini tengah menjalani masa kehamilan selama tiga bulan, yang dimana sangat rentan dengan kondisi seperti itu yang malah menerima perlakuan keji dari sesosok egois dan tak berperasaan. 

Suara jeritan dan tangisan membuatnya muak dan kacau. Dengan tergesa-gesa ia langsung bangun dari duduknya, lalu berlari ke tempat tak ramai demi menjernihkan pikiran. Taman belakang ia pilih sebagai destinasi tujuan. Dengan nafas memburu ia duduk di salah satu susunan bata. Menarik nafas panjang lalu dihembuskan dengan perlahan, mencoba menetralkan deru jantung yang memacu. Di tengah heningnya suasana luar, Ume membaringkan punggung bersama jiwa letihnya pada tembok kayu dibelakangnya. Matanya memejam, menikmati nyanyian jangkrik malam dan keheningan sesaat. 

“Ume.” 

Tubuhnya tersentak kaget, bak baru saja tersambar petir ketika tiba-tiba seseorang memanggil namanya sembari menepuk bahu. Dengan gerakan cepat, dia mendongak, matanya bertemu dengan lawan bicara yang ada di sampingnya. Dalam keheningan sebentar, ekspresi wajahnya menggambarkan keingintahuan dengan sekelibat rasa keterkejutan yang masih disana. "Maaf, maaf. Saya mengagetkan ya??" Ucap lawan bicara dengan nada tak enak.  Dengan tiba-tiba, hatinya berdegup kencang ketika diajak bicara. Matanya memancarkan kejutan yang tak tersembunyi, seolah-olah terdampar dalam keheningan yang akhirnya terlalu singkat. 

Kulit sawo matang dengan tubuh ringkih bak menyisakan tulang, senyum ramah nan lembut dan rambut hitam legam yang disanggul konde. Warna berani dari kebaya koyak yang digunakan, beserta riasan tipis terlukis indah diwajahnya yang penuh lebam dan bengkak tebal kemerahan di mata kirinya. Diperparah dengan cairan merah kental disisi kiri bibirnya yang masih menyunggingkan senyuman. 

"Saya Minah, asli Wonosobo." Dengan penuh keramahtamahan, dia tersenyum, dengan deretan gigi putihnya. "Kamu Ume, kan?? Banyak saya mendengar ramai rekan-rekan membicarakan. Katanya ada gadis Jepang. Cantik, putih dan halus lembut kulitnya, rupanya itu kamu, kan??? Tak ada sesiapa lagi disini yang bisa saya simpulkan seperti itu selain kamu."  Wajah Ume tercermin terkejut ketika mendengar kata-kata orang mengenai dirinya, seakan tersapu angin kejutan yang membawa campuran rasa ketidakpercayaan dan kebingungan yang tak mampu ia tutupi. 

"Lancar berbahasa Indonesia tidak??" Minah bertanya. 

Ume menggeleng. Hanya sedikit padanan kata akan pengetahuannya mengenai bahasa. "Tapi apa kamu mengerti setiap kata yang saya ucapkan?? Saya merasa tidak enak jika hanya berkicau sendirian." Minah terkekeh pelan diakhir katanya.  Ume mengangguk, setidaknya ia dapat memahami meski agak kurang dipelafalan. "Syukurlah," Masih dengan senyum yang sama, Minah menghela nafas lega. "Sudah berapa banyak yang kamu hibur??"

Dengan mata terbuka lebar, Ume terkejut mendengar pertanyaan yang sebenarnya wajar ditanyakan di lingkungan mereka. Ia mendadak merasa bimbang namun tak etis untuk menghiraukan.  Dengan terpaksa, ia menunjukkan angka 1 dan 5 dengan jarinya, meski wajahnya memancarkan ketidaknyamanan karena tindakan sederhana itu menyiratkan lebih dari yang bisa diucapkan. 

Minah yang tampak tak menyadari ketidaknyamanan itu kembali buka suara, "Sudah banyak ya, padahal baru sebentar. Tapi saya rasa itu wajar. Tidak ada siapapun yang bisa menolak wanita cantik."  Entah Ume harus merasa bagaimana, namun Ume tak bisa menolak bahwa ia tersinggung dengan kata-kata yang Minah katakan. Tidak ada sesiapapun yang akan merasa tersanjung di situasi yang saat ini ia, dan wanita lain alami. Kenangan yang menyakitkan itu bahkan masih membekas di kepala. Bayangan traumatis menyelimuti jiwa, meninggalkan bekas luka yang tak terlihat. 

"Keberatan jika saya menemani kamu disini??" Minah bertanya sembari menunjuk ke tumpukan bata disamping Ume duduk. "Saya hanya sebentar, nanti jam 2 saya akan pulang." 

Ume tampak berpikir sebentar. Sejujurnya jika boleh berkata, Ume ogah untuk menerima, apalagi setelah kata-kata tak mengenakkan yang ia ucapkan. Tapi, melihat bagaimana kondisinya saat ini, Ume rasa ia akan sangat jahat untuk melakukan sebuah penolakkan. Maka dari itu ia mengangguk sambil menumpuk tumpukan bata tersebut.  Senyum Minah makin merekah, dengan semangat ia duduk disamping Ume. "Terima kasih, sudah lama saya tak bertukar cerita lagi disini." 

Setelah itu, keheningan menyelimuti mereka. Di bawah langit gelap, Minah terlihat menikmati keheningan malam, matanya memandang ke langit bintang dengan kedamaian yang mendalam sementara yang lainnya menyimak kehadirannya, merasakan ketenangan yang terpancar dari kesunyian malam yang dalam. "Saya dengar kamu masih muda," Minah kembali membuka obrolan namun mata tak teralihkan, "Sekitar dua puluh ya??" Barulah setelah itu ia bertatap mata.  Dengan maksud membenarkan, Ume mengangguk lagi, menimbulkan senyuman teduh yang semakin dalam dari ekspresi Minah. 

"Seumuran dengan adik saya seandainya masih ada. Dia cantik juga, sama seperti kamu. Kulitnya sawo matang dan matanya belo. Mungkin karena cantiknya itu dia jadi banyak yang suka, sampai-sampai suatu hari dia tidak ada kabar, dan ketemunya saat sudah tidak ada jiwa," Senyumnya perlahan meluntur sembari pandangannya yang menunduk menatap tanah basah dibawahnya, "Saya merasa kecewa karena sudah menjadi kakak yang gagal. Ia juga sama seperti saya, seorang wanita penghibur, namun syukurnya ia berhasil lolos."

"Tetapi, yang ia kira dunianya akan baik-baik saja selepas kabur dari rumah jahanam, namun rupanya malah tidak ada bedanya. Adik saya meninggal karena malu, malu diomongi oleh tetangga. Banyak yang mengatai ia sebagai wanita tanpa urat malu karena profesi yang ia geluti karena keterpaksaan. Meskipun ia korban, tetapi orang-orang bahkan bagai buta dan menuli. Mereka mencemooh, dan malah menyalahkan adik saya yang tidak melawan dan malah rela dipermalukan. Bahkan ia dianggap sudah rusak." Minah melanjutkan. Dengan tatapan dalam, dia berkaca-kaca ketika menceritakan sesuatu, suaranya bergetar mencerminkan emosi yang sulit ditahan, seolah-olah cerita itu membangkitkan kenangan yang terpendam dalam hatinya. 

Dalam getirnya ceritanya, tangisannya pecah seperti gelombang emosi yang tak terbendung, merobek keheningan dengan beban berat yang terpendam dalam setiap kata yang diucapkannya. Dengan itu, Minah mengusaikan ceritanya, disambut dengan Ume yang dengan tangan terbuka menerima beban berat Ume yang tertumpahkan meski ia tak berkata.  Barulah dari situ Ume mengetahui bahwa Minah lah orang yang disiksa dibalik tirai tadi. Alasannya karena tidak ada penarikkan. Nyonya besar menyalahkan Minah karena fisiknya yang ia anggap kurang sehingga kurang menarik perhatian pelanggan yang padahal saat itu karena Minah tidak enak badan.  "Bagai babi dengan riasan." pungkas Minah, mengingat kata kejam yang nyonya besar katakan mengenai dirinya. Rasa sakit hati ia sembunyikan dibalik senyum tipisnya. Dengan itu tak hanya mental lah yang menjadi korban, tetapi calon janinnya. 

Minah keguguran…

Sebelum menutupi sesi ceritanya, Minah sempat buka suara bahwa tidak ada siapapun, baik wanita ataupun pria, yang ingin dirinya dianggap sebagai objek atau barang, terutama jika diposisi itu ia adalah korban. Setiap orang sudah diciptakan sebaik-baiknya oleh Sang Maha Pencipta tetapi manusia sendirilah yang merusak makna dari itu. Dengan penuh pengertian dan keteguhan, Ume menyetujui. Menyiratkan kesepahaman yang mendalam dan menciptakan ikatan emosional yang kuat karena perasaan senasib. Baik Minah dan Ume sama-sama korban penculikkan dan kebiadaban sesama manusia. 

"Saya rasa sudah cukup sesi ceritanya." Ume cukup salut terhadap Minah yang masih bisa kuat tersenyum sembari menyeka air mata dipipinya, "Saya ingin pulang, saya sudah tidak kuat lagi disini." Minah terbangun dari duduknya. Ia mengatakan ingin kedalam, untuk istirahat. Namun sebelum masuk, ia sempat terdiam lalu memeluk Ume dengan tulus dan lembut. 

"Saya harap kamu memiliki masa depan yang lebih baik dari saya, baik adik saya. Maafkan saya bila ada kata saya yang menyinggung. Saya akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu meskipun sudah tidak ada disini lagi." Kata-kata yang Minah bisikan sebelum perpisahan malam ini masih membayangi Ume bahkan ketika batang hidung Minah sudah menghilang dibalik pintu tadi. Biarpun tidak mampu mengubah keadaan Ume saat ini, setidaknya kata-kata Minah memberikan secercah harapan untuk Ume bangkit dan berdiri diatas kakinya sendiri. 

Ume sempat berdiam lama merenungi segalanya hingga akhirnya menghela nafasnya, membuang segala pikiran negative dalam satu helaan nafas. Kini ia optimis, tidak mau seperti ini lagi. Tak peduli akan hidup atau mati, Ume akan lari dan bebas dari penindasan ini.  Dengan langkah yakin, ia membuka knop pintu untuk masuk kedalam dengan rencana untuk mengemasi barang-barangnya sebelum tiba-tiba, teriakan salah seorang wanita lain dari suatu kamar membuat ia memutar arah untuk berlari ke lokasi kejadian. 

Jam berdentang dengan dinginnya pukul dua pagi, mengimbangi kesunyian malam yang menyelimuti sekitar. Dengan ekspresi shock yang membeku di wajahnya, matanya melebar seiring dengan tubuh yang terbujur kaku di depannya. Jeritan tersedu-sedu melompat dari bibirnya, mengiringi kejutan yang tak terduga. Suara detak jam seperti seruan kelam, menyertai penemuan yang mencekam: tubuh Minah yang ditemukan tergeletak dingin di sudut kamar, membawa pesan kelam tentang keputusasaan yang merajalela dalam kegelapan malam.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku: The 5 Levels of Leadership

  gambar: media.oiipdf.com Oleh : Mutahassin Bilhaq   Identitas Buku Judul               : The 5 Levels of Leadership Penulis            : John C. Maxwell Penerbit          : Center Street Tahun Terbit   : 2011 Halaman         : 452 halaman Kategori          : Leadership Bahasa             : Inggris Harga              : $17.66 Ringkasan "Leadership is one of my passions. So is teaching it. I’ve dedicate more than thirty years of my life to helping others learn what I know about leading. In fact, I spend about eight days every year teaching l...

HARIAN AQUA (Vol. 33): HARGA BBM NAIK, APA KATA MAHASISWA?

Harga BBM Naik, Apa Kata Mahasiswa? (Sumber: garta.com) Malang, LPM AQUA -Selasa (12/09/2022), BBM atau singkatan dari bahan bakar minyak merupakan jenis bahan bakar yang dihasilkan dari suatu pengilangan ( refining) minyak mentah ( crude oil ). Minyak mentah yang berasal dari perut bumi ini diolah dalam pengilangan dahulu untuk menghasilkan suatu produk-produk minyak yang termasuk di dalamnya yaitu BBM. Pemerintah pada S abtu, 3 September 2022, resm i menaikkan harga BBM atau menghapus subsidi BBM. Berbagai tanggapan menanggapi kenaikan dari harga BBM tidak menyurutkan langkah pemerintah. Harga Solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter. Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter. Sedangkan pertamax yang non-subsidi naik di harga Rp 14.500 dari sebelumnya Rp 12.500 per liter.      (Sumber: pertamina.com) Berbagai respon pun tertuai terutama dari kalangan mahasiswa. Para mahasiswa memberikan beragam tanggapan mengenai kenaikan BBM yang terjadi d...

RESENSI BUKU: SEIKHLAS AWAN MENCINTAI HUJAN

Seikhlas Awan Mencintai Hujan (Sumber: pustakabukubekas_pinterest.com) Malang, LPM AQUA -Jumat (25/03/2022) Buku ini mengajarkan cara bagaimana kita mengikhlaskan sesuatu yang kita sendiri tidak mau melepaskannya. Terkadang tuhan menghadirkan kehilangan bukan untuk ditangisi, tetapi untuk mengajari agar jangan terlalu dalam berharap pada seseorang. Tidak ada siapa pun yang akan sanggup kehilangan seseorang yang paling kita inginkan dalam hidup. Seseorang yang sangat kita harapkan untuk tinggal dan menua di bawah satu atap yang sama. Seseorang yang pernah kita bayangkan tentang menjalani suatu pagi dan menyambut matahari berdua bersama. Seseorang yang kepadanya ia pernah berencana membuat sepasang kursi, tempat di mana bisa duduk untuk menyaksikan langit senja. Seseorang yang kepadanya ia berjanji untuk saling menjaga hingga tutup usia.  Bagaimana bila nama yang kau sebut di sepertiga malammu bukan nama yang ingin Tuhan satukan denganmu?  Pada akhirnya, tidak ada yang mampu dil...